Sumber: ShelOn (Sempurna Alon-Alon)
BUKU ASWAJA BAB 6 ; PERBEDAAN WIRID SYEKHUNA PADA SETIAP DAERAH
Syekhuna adalah seorang guru mursyid yang menolong ummat manusia untuk
belajar menapaki jalan suci menuju ridho Allah swt. Beliau memberikan
banyak cara sebagai jalan untuk menuju pada kesucian hati dalam
mengingat Allah dengan cara memberikan beberapa wirid dan amalan-amalan
sunnah sebagai penopang amalan fardhu. Amalan dan wirid yang diberikan
syekhuna kepada santrinya, hampir memiliki perbedaan disetiap daerahnya,
dan inipun merupakan murni dari pemberian syekhuna dan bukan hasil
karya para santrinya didaerah tersebut. Hal ini terjadi karena hanya
beliaulah yang mengerti tentang maksud dan tujuannya. Alasannya adalah
bahwa seorang guru adalah bagaikan seorang dokter, beliau akan
memberikan obat kepada pasiennya sesuai dengan penyakit yang
dideritanya. Begitupun Syekhuna, memberi resep dzikir sesuai dengan
penyakit yang diderita para santrinya didaerah masing-masing, baik itu
penyakit dari diri santrinya berupa penyakit hati dll, maupun dari
situasi lingkungannya. Hanya beliaulah yang mengetahui sir (rahasia)nya,
wallahu a’lam bishshowab.
وَكَذَا يُقَالُ فِى الذِّكْرِ بِاللِّسَانِ وَبِالْقَلْبِ أَوْ
بِالْقَلْبِ فَقَطْ فَبِلِسَانِ أَهْلِ الظَّاهِرِ ذِكْرُ اللِّسَانِ
وَالْقَلْبِ أَفْضَلُ مُطْلَقًا وَعِنْدَ أَهْلِ الطَّرِيْقِ فِى ذَلِكَ
تَفْصِيْلٌ تَفْهَمُهُ مِمَّا قَبْلَهُ إِنْ وَعَيْتَهُ وَتَأَمَّلْتَهُ
فَإِنَّ الْمُسْتَغْرِقَ قَدْ يَعْرُضُ لَهُ مِنَ اْلأَحْوَالِ مَا
يَلْتَجِمُ بِهِ لِسَانَهُ وَيَصِيْرُ فَلاَ غَايَةَ مِنْ مَقَامِ
الْحَيْرَةِ وَالدَّهْشِ فَلاَ يَسْتَطِيْعَ نُطْقًا أَوْ يَتَفَرَّقُ
بِسَبَبِ نُطْقِهِ مَاهُوَ مُتَمَثِّلٌ بِهِ مِنْ مَعَالِى تِلْكَ
اْلأَحْوَالِ وَمَا هُوَ مُسْتَغْرِقٌ فِيْهِ مِنْ بِحَارِ اْلعِرْفَانِ
وَالْكَمَالِ وَالْحَاصِلُ أَنَّ اْلأَوْلَى بِالسَّالِكِ قَبْلَ
اْلوُصُوْلِ إِلَى هَذِهِ الْمَعَارِفِ أَنْ يَكُوْنَ مُدِيْمًا لِمَا
يَأْمُرُهُ بِهِ أُسْتَاذُهُ الْجَامِعُ لِطَرَفَيِ الشَّرِيْعَةِ
وَالْحَقِيْقَةِ فَإِنَّهُ هُوَ الطَّبِيْبُ اْلأَعْظَمُ (الفتاوى الحديثية
ص 53)
"Begitu juga dikatakan dalam berdzikir dengan lisan dan hati atau dengan
hati saja. Berdasarkan pendapat ulama Ahli Dzahir bahwa dzikir dengan
lisan dan hati itu lebih utama secara mutlak, sedangkan menurut Ahli
Thariqat dalam masalah tersebut terdapat rincian yang dapat kamu pahami
sebelumnya, jika kamu ingin mengingat-ingat dan merenunginya
sesungguhnya orang yang tenggelam (dalam berdzikir) terkadang datang
kepadanya beberapa keadaan yang dapat mengunci lisannya, dan tidak ada
batasan akhir bagi maqam tenggelam (dalam berdzikir), maka ia tidak
mampu berkata-kata atau terdapat perbedaan yang diucapkannya dengan yang
digambarkannya atau dengan apa yang ia alami. Dan ia adalah tenggelam
dalam lautan ma'rifat dan kesempurnaan. Kesimpulannya adalah
sesungguhnya yang paling utama bagi para salik (murid) sebelum ia sampai
kepada derajat ma'rifat ini adalah hendaklah ia selalu mematuhi apa
yang diperintah oleh gurunya yang telah mengumpulkan (menguasai) dua
sisi syariat dan hakikat, sesungguhnya ia bagaikan seorang dokter yang
agung."
وَاْلأَوْرَادُ بَعْدَ الصُّبْحِ وَغَيْرِهِ أَصْلاً صَحِيْحًا مِنَ
السُّنَّةِ وَهُوَ مَا ذَكَرْنَاهُ فَلاَ اعْتِرَاضَ عَلَيْهِمْ فِى ذَلِكَ
ثُمَّ إِنْ كَانَ هُنَاكَ مَنْ يَتَأَذَّى بِجَهْرِهِمْ كَمُصَلٍّ أَوْ
نَائِمٍ نُدِبَ لَهُمُ اْلإِسْرَارُ وَإِلاَّ رَجَعُوا لِمَا يَأْمُرُهُمْ
بِهِ أُسْتَاذُهُمُ الْجَامِعُ بَيْنَ الشَّرِيْعَةِ وَالْحَقِيْقَةِ
لِمَامَرَّ أَنَّهُ كَالطَّبِيْبِ فَلاَ يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَايَرَى فِيْهِ
شِفَاءً لِعِلَّةِ الْمَرِيْضِ (الفتاوى الحديثية ص 56)
"Aurad setelah shalat subuh dan lainnya adalah sah berdasarkan dalil
(sunnah) yang shahih, itulah yang telah kami sebutkan maka tidak perlu
adanya bantahan untuk mereka dalam hal tersebut. Kemudian apabila disana
ada orang yang merasa terganggu dengan suara keras mereka (dalam
berdzikir) seperti orang yang sedang shalat atau tidur maka disunnahkan
agar mereka memelankan suara. Dan jika tidak ada orang yang merasa
terganggu, maka mereka kembali mengeraskan suara sesuai dengan apa yang
diperintahkan oleh guru mereka yang telah menguasai antara syariat dan
haqiqat, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa ia (guru) tersebut
bagaikan seorang dokter, dokter tidak akan memerintah (sesuatu) kecuali
apa yang ia pandang sebagai obat bagi penyakit pasiennya."
Post a Comment