Latest Post
Showing posts with label Majelis AsySyahadatain. Show all posts
Showing posts with label Majelis AsySyahadatain. Show all posts

BUKU ASWAJA BAB 3; TUNTUNAN SYEKHUNA DALAM KAITANNYA TERHADAP TASAWUF

Written By Mas Toto on April 29, 2013 | 12:45 PM

ARTI DAN PENGERTIAN ILMU TASAWWUF



1. Arti dan Definisi Tasawwuf
Arti dari kata Tasawwuf sangatlah banyak yang berpendapat, namun disini hanya dicantumkan beberapa pendapat saja. Menurut Syekh Junaidi Al Baghdadi menjelaskan bahwa Tasawwuf adalah hendaknya keadaanmu beserta Allah tanpa adanya perantara, dan menurut Syekh Ma'ruf Al-Karokhi Tasawwuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan dari segala sesuatu yang ada pada tangan makhluk.
Sedangkan definisi dari Tasawwuf adalah Mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah membersihkan diri, berdzikir, dan mahabbah (cinta) kepada Allah swt.

2. Pengertian Ilmu Tasawwuf
Pengertian dari Tasawwuf dan Ilmu Tasawwuf terdapat perbedaan, karena Tasawwuf adalah Realisasinya, sedangkan Ilmu Tasawwuf adalah keilmuannya.
Ilmu Tasawwuf menurut Ibnu Khaldun adalah Salah satu ilmu syari'at yang baru tumbuh dalam agama islam yang asalmulanya ialah daripada perbuatan para Salafus Sholihin, para Shohabat, para Tabi'in, dan orang-orang sesudahnya yang mengikuti jejak mereka (yaitu menuruti jalan haq atas petunjuk Allah).

3. Tujuan Tasawwuf
Tujuan pokok dari Tasawwuf adalah untuk mencapai Ma'rifat billah (mengenal Allah) dengan sebenr-benarnya. Dan tujuan yang kedua adalah menuju pada hakikatnya Insan Kamil
IMPLEMENTASI TASAWWUF DALAM TUNTUNAN SYEKHUNA
Tuntunan Syekhuna merupakan implementasi dari ajaran tasawwuf salaf yang memiliki arah dan tujuan Ma'rifat billah (eling Allah) dan menuju pada hakikat Insan Kamil yang diawali dengan proses pembelajaran syahadat secara istiqomah, baik secara lisan maupun secara keyakinan dan pelaksanaan, sebagai proses awal pembersihan hati dalam mencapai Ma'rifat billah.
Proses pembelajaran syahadat ini, ditekankan pula oleh Syekh Zainuddin Al-Malibary dalam kitabnya yang berbunyi sebagai berikut:

(اِعْلَمْ) أَنَّ أَوَّلَ مَايَلْزَمُ الْمُكَلَّفَ تَعَلُّمُ الشَّهَادَتَيْنِ وَمَعْنَاهُمَا وَجَزْمُ اعْتِقَادِهِ ثُمَّ تَعَلُّمُ ظَوَاهِرِ عِلْمِ التَّوْحِيْدِ وَصِفَاتِ اللهِ تَعَالَى
"(Ketahuilah) sesungguhnya yang pertama diwajibkan bagi mukallaf adalah mempelajari dua kalimat syahadat dan ma'nanya serta mengukuhkan keyakinannya, kemudian mempelajari dhahir dari ilmu tauhid dan sifat-sifat Allah swt."

وَيَجِبُ أَيْضًا تَعَلُّمُ دَوَاءِ أَمْرَاضِ اْلقَلْبِ كَالْحَسَدِ وَالرِّيَاءِ وَاْلعُجْبِ وَاْلكِبْرِ وَاعْتِقَادُ مَاوَرَدَ بِهِ اْلكِتَابُ وَالسُّنَّةُ
"Dan diwajibkan pula mengetahui obat dari penyakit-penyakit hati seperti dengki, riya, ujub, dan takabbur. Dan wajib pula meyakini apa yang datang dari Al-quran dan sunnah."


Proses dan ritual yang diterapkan dalam Tuntunan Syekhuna adalah sebagai berikut;

1. Pengamalan jalan para salik dalam Tuntunan Syekhuna
Tujuan pokok dari Tuntunan Syekhuna adalah Ma'rifat billah (eling Allah), dan menjadikan manusia menuju pada hakikat Insan Kamil, sehingga mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat (slamet dunia akherat dunia akherat slamet). Sebagai pelaksaannya yaitu melalui beberapa pengamalan sebagai berikut;

a. Pengamalan ritual syahadat
Syahadat merupakan pokok iman, sehingga untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan harus benar-benar menjalankan rukun islam yang pertama ini.
Dalam kaitannya terhadap ajaran tasawwuf, dalam Tuntunan Syekhuna diterapkan beberapa fase/tingkatan suluk sebagai pengamalan Syahadat untuk mencapai pada ke-istiqomah-an mengingat Allah (dzikrun fil qolbi) dan pengharapan pengakuan menjadi murid Syekhuna, yaitu melalui 5 ritual sebagai berikut;

1) Stempel/Bai'at Syahadat
Stempel adalah ritual pertama yang harus dilewati sebagai pengakuan dan janji setia kepada Allah, Rasulullah, dan Syekhuna. Istilah stempel ini dinisbatkan pada praktek dan tujuannya, yaitu menetapkan syahadat kedalam hati dan pikiran. Karena pada prakteknya, stempel adalah pembacaan dua kalimat syahadat didepan seorang saksi muslim dengan meletakkan tangan kanan dijidat dan tangan kiri didada. Dalam kajian keilmuan stempel itu disebut Bai'at, pembahasan tentang bai'at ini terdapat pula tentang ditetapkannya bai’at / stempel dari guru dan mursyid kamil

إِعْلَمْ أَنَّ نَفْسَ الْبَيْعَةِ ثَبَتَ بِاْلقُرْآنِ وَأَحَادِيْثِ حَبِيْبِ الرَّحْمَنِ صلى الله عليه وسلم قَالَ الله تَعَالَى إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ الله. الآية. وَأَمَّا اْلأَحَادِيْثُ النَّبَوِيَّةَ فَكَقَوْلِ الصَّحَابَةِ نَحْنُ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا مُحَمَّدًا عَلَى الْجِهَادِ أَبْقَيْنَا أَبَدًا وَغَيْرِهَا مِنَ الأَحَادِيْثِ الْمَرْوِيَّةِ فِي هَذَا اْلبَابِ فِي الصِّحَاحِ السِّتِّ وَهُوَ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ
أَحَدُهَا اْلبَيْعَةُ عَلَى اْلإِسْلاَمِ وَثَانِيْهَا عَلَى اْلهِجْرَةِ وَالثَّالِثُ عَلَى الْجِهَادِ وَهَذِهِ الثَّلاَثَةُ وَقَعَتْ بَيْنَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابِهِ وَالرَّابِعَةُ اْلبَيْعَةُ عَلَى اْلإِطَاعَةِ اْلأَمِيْرِ وَالسُّلْطَانِ وَهَذِهِ اْلبَيْعَةُ وَقَعَتْ بَيْنَ الصَّحَابَةِ كَبَيْعَتِهِمْ مَعَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَبَيْنَ مَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْخَامِسَةُ اْلبَيْعَةُ الْمُتَعَارَفَةُ بَيْنَ أَهْلِ الطَّرِيْقَةِ مِنَ الشُّيُوْخِ وَهِىَ الْبَيْعَةُ عَلَى الذِّكْرِ وَاْلفِكْرِ وَالتَّوْثِيْقِ عَلَى اْلأَوَامِرِ وَاجْتِنَابِ الْمَنَاهِى وَهَذِهِ مِمَّا جَرَتْ عَادَةُ الصَّالِحِيْنَ مِنْ زَمَنِ السَّلَفِ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا.
"Dan dari kebiasaan masalah taqlid adalah masalah bai’at dan tarekat dari guru kamil. Ketahuilah bahwa bai’at itu telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Saw.
(dasar bai’at dari Al-Qur’an) Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang bai’at kepadamu maka orang itu telah berbai’at kepada Allah Swt."
(Adapun dasar bai’at dari hadits Nabi Saw, adalah) perkataan sahabat : “Saya adalah orang-orang yang berbai’at kepada Rasulullah Saw untuk jihad dan untuk tidak tinggal diam selama-lamanya."
Dan masalah bai’at ini ditetapkan pula dalam hadits-hadits yang terdapat dalam Kutub As-Sittah/dan yang lainnya.

Bai’at terbagi lima bagian: Bai’at Islam, Bai’at Hijrah, Bai’at Jihad, Bai’at untuk taat kepada pemimpin (raja). Bai’at ini terjadi antara para shahabat seperti bai’atnya shahabat-shahabat pada khulafaurrasyiddin dan bai’at pada (imam-imam) pemimpin orang muslim, dan Bai’at yang sudah dikenal (Bai’at Muta’arifah), diantara guru-guru ahli tarekat. Yaitu bai’at atas dzikir dan fikir, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya dan bai’at ini merupakan kebiasaan orang-orang Salafus Shalih sampai zaman kita sekarang"
Pelaksanaan baiat tersebut merupakan pelaksanaan dari rukun syahadat yang pembahasannya akan dipaparkan pada bagian selanjutnya.

2) Latihan
Latihan disini merupakan proses kedua dalam upaya istiqomah menjalankan sunnah Rasulullah saw. berupa latihan melaksanakan sholat Dhuha dan Tahajjud selama 40 hari serta dibarengi dengan membaca Puji Dina (wirid yang dibaca pada setiap hari). Hal ini bertujuan sebagai pelatihan dan pembiasaan Shalat Duha dan Shalat Tahajjud serta bukti patuh terhadap guru.

3) Tunjina
Pada periode ketiga ini, diharuskan membaca Shalawat Tunjina selama 40 hari sebanyak yang diberikan syekhuna, serta dibarengi dengan istiqamah Sholat Dhuha dan Sholat Tahajjud. Dengan tujuan mampu beristiqamah dalam mengingat Allah sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakherat.


4) Modal
Modal adalah istilah bagi sebuah ritual yang bertujuan membuat modal untuk kehidupan diakherat kelak dengan banyak berdzikir. Dzikir yang dibacanya dikhususkan dengan peraturan yang ditentukan oleh Syekhuna, namun jumlahnya disesuaikan dengan permintaan dari para saliknya, dan waktunya sampai dia selesai membacanya sesuai dengan jumlah yang dimintanya. Tujuan dari modal ini memohon kepada Allah dengan Asma-asma-Nya mendapatkan berlimpah keberkahan dan kebahagiaan didunia dan diakherat.

5) Karcis
Karcis adalah istilah untuk proses ritual yang kelima, yaitu membaca beberapa wirid khusus yang dibarengi dengan Shalat Dhuha, Shalat Tahajjud, dan Puji dina selama 40 hari. Sedangkan tujuannya adalah mendapatkan pengakuan (Karcis/tanda bukti) sebagai murid Syekhunal Mukarrom.
b. Penerapan Maqom tasawuf/ thoriqotul Auliya
Sebagai jalan menuju pada kesempurnaan yang hakiki, maka dalam Tuntunan Syekhuna diterapkan dua suluk, yaitu perkoro songo dan perkoro nenem.

 Perkoro Songo
Perkoro songo adalah sembilan sifat kewalian menurut para ahli tasawwuf. Dalam Tuntunan Syekhuna terdapat do'a yang berbunyi; "Ya Allah Ya Rasulullah pasrah awak kula lan sa ahli-ahli kula sedaya, kula niat belajar ngelampahi perkawis ingkang sanga senunggal niat belajar taubat, kaping kalih niat beljar konaah, kaping tiga niat belajar zuhud, kaping sekawan niat belajar tawakkal, kaping lima niat belajar muhafadzoh alas sunnah, kaping nenem niat belajar ta'allamul ilmi, kaping pitu niat belajar ikhlas, kaping wolu niat belajar uzlah, kaping sanga niat belajar hifdzul awkot, ngilari kanggo sangu urip senengge ibadah". Dengan doa tersebut memiliki dua arti yaitu perintah belajar untuk melaksanakan sembilan macam sifat kewalian tersebut, dan yang kedua memohon pada Allah untuk memberikan taufiq dan hidayahnya sehingga dapat menjalankannya.
Perkoro songo tersebut terdiri dari;

1) Taubat
Taubat adalah tempat awal pendakian bagi para salik dan maqom pertama bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut bahasa adalah kembali, artinya kembali dari sesuatu yang dicela menurut syara' menuju sesuatu yang terpuji menurut syara'. Menurut Ahli Sunnah mengatakan bahwa syarat diterimanya taubat ada tiga, yaitu: menyesali atas perbuatannya yang salah, menghentikan perbuatan dosanya, dan berketetapan hati untuk tidak mengulanginya

2) Qona'ah
Qona'ah artinya ridho dengan sedikitnya pemberian dari Allah. Karena itu ada sebagian ahli tasawwuf mengatakan bahwa seorang hamba sama seperti orang merdeka apabila ia ridho atas segala pemberian, tetapi seorang merdeka sama seperti hamba apabila bersifat tamak (rakus/serba kekurangan)


3) Zuhud
Zuhud adalah tidak cinta pada dunia, sebagian ulama berpendapat bahwa zuhud adalah meminimalkan kenikmatan dunia dan memperbanyak beribadah kepada Allah. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang zuhud, dan beliau menjawab; Zuhud ialah hendaklah kamu tidak terpengaruh dan iri hati terhadap orang-orang yang serakah terhadap keduniaan, baik dari orang mukmin maupun dari orang kafir. Menurut sebagian ulama dalam kitab Risalah Al-qusyairiyah zuhud adalah tidak akan bangga dengan kenikmatan dunia dan tidak akan mengeluh karena kehilangan dunia.

4) Tawakkal
Tawakkal artinya adalah berserah diri kepada Allah setelah berusaha sekuat tenaga dan fikiran dalam mencapai suatu tujuan

5) Muhafadzoh alas sunnah
Muhafadhoh alas sunnah adalah menjaga perkara sunnah dengan mengamalkan sunnah-sunnah nabi dalam kehidupannya.

6) Ta'allamul ilmi
Ta'allamul Ilmi adalah mencari ilmu, maksud ilmu yang diutamakan adalah ilmu untuk tujuan memperbaiki ibadah, membenarkan aqidah, dan meluruskan hati.

7) Ikhlas
Ikhlas adalah niat semata-mata karena Allah dan mengharapkan ridhoNya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Artinya segala bentuk hasab dan kasabnya hanya untuk mencari ridho Allah.

8) Uzlah
Uzlah adalah menyendiri atau mengasingkan diri dari keramaian hiruk pikuk keduniaan. Maksudnya adalah mengutamakan beribadah kepada Allah daripada menyibukkan diri dengan keduniaan. Sebagian ulama berpendapat bahwa uzlah yang terbaik adalah ditempat ramai, seperti berdzikir disela-sela keramaian orang.

9) Hifdzul awqot
Hifdzul awqot adalah memelihara waktu, maksudnya adalah mempergunakan waktu seluruhnya untuk melaksanakan keta'atan kepada syari'at agama Allah dan meninggalkan apa yang tiada berguna.
Dalam Tuntunan Syekhuna, kesembilan sifat kewalian tersebut diterapkan dalam pengamalan-pengamalan ibadahnya, sehingga secara otomatis kesembilan macam perkara tersebut dapat terlaksana bagi para santri syekhuna yang patuh menjalankan perintah gurunya.

 Perkoro Nenem
Perkoro Nenem adalah enam macam bentuk ibadah yang utama. Pengamalan perkara nenem ini ditujukan agar mendapat ridho Allah serta akan mendapat kebahagiaan. Perkara Nenem yang dimaksud adalah;'


1) Sholat Dhuha
Sholat Dhuha adalah sholat sunnah yang dikerjakan setelah terbit matahari sampai waktu dhuhur. Jumlah rokaatnya maksimal 12 rokaat. Mengenai keutamaan sholat dhuha terdapat banyak hadits dalam banyak kitab, seperti yang terdapat dalam kitab Khozinatul Asror hal. 29

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ ص م مَنْ حَافَظَ عَلَى شَفْعَةِ الضُّحَى غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوْبُهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ اْلبَحْرِ
"Dari Abu hurairah ra. Dari nabi saw. Barangsiapa menjaga shalat dluha maka diampuni dosa-dosanya walaupun sampai seperti buih dilautan."

2) Sholat Tahajjud
Sholat Tahajjud adalah sholat sunnah yang dikerjakan pada waktu tengah malam sampai waktu subuh. Jumlah rokaatnya tidak terbatas. Mengenai keutamaannya sangat banyak sekali. Dalam kitab Maroqil Ubudiyah hal. 40 terdapat hadits yang menerangkan kedudukan sholat tahajjud sebagai berikut;

كَخَبَرِ مُسْلِمٍ أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
"Seperti yang diberitakan oleh imam muslim bahwa; sebaik-baik sholat setelah sholat fardhu adalah sholat malam (sholat tahajjud)."

3) Sidik
Sidik disini adalah benar dalam perkataan, keyakinan dan perbuatan. Artinya tuntunan Syekhuna membimbing manusia untuk berkata, bertekad, dan berbuat benar.

4) Membaca Al-qur'an
Membaca Al-qur'an merupakan kegemaran para shohabat, karena memiliki banyak manfaat dan keutamaan. Oleh sebab itu, dalam Tuntunan Syekhuna dianjurkan membaca Al-qur'an setiap hari, minimal membaca ayat sebelum dan sesudah fajar.

5) Netepi Hak buang batal
Yaitu Menjalankan yang hak dan meninggalkan yang bathal. Artinya menjalankan perintah-perintah Allah dan RasulNya baik berupa fardhu maupun sunnah, dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.

6) Eling Pengeran
Eling Allah (ingat Allah) adalah hidupnya hati dengan selalu dzikir/ ingat Allah. Atau belajar untuk selalu berdzikir.
Dengan pelaksanaan enam macam pengamalan ini, seorang hamba akan benar-benar mendapatkan kenikmatan hidup didunia maupun diakhirat.

c. Implementasi Uzlah dalam Tuntunan Syekhuna
Uzlah adalah menghindarkan diri dari keramaian terutama dari keramaian hawa nafsu. Artinya uzlah adalah memenjarakan diri untuk mengosongkan dari cinta dunia dan diisi dengan cinta kepada Allah.
Dalam Tuntunan Syekhuna, pelaksanaan uzlah itu melalui banyak cara, disamping uzlah syar'I yaitu dengan menyendiri/menutup diri sehari semalam, maupun uzlah hakiki, yaitu dengan menahan hawa nafsu dari keinginan dunia, seperti yang dilaksanakan pada bentuk-bentuk ibadah sebagai berikut;

1) I'tikaf Maghrib sampai Isa
I'tikaf dari waktu maghrib sampai isya merupakan perbuatannya para salafus sholih, dan ini merupakan bentuk ibadah yang berat untuk dilaksanakan dan memiliki keutamaan yang amat besar. Oleh sebab itu, dalam Tuntunan Syekhuna diterapkan wirid-wirid yang dibaca secara berjama'ah untuk diamalkan dari waktu maghrib sampai isya secara istiqomah, sehingga I'tikaf maghrib sampai isya tersebut menjadi kebiasaan dan tidak berat lagi bagi para santri Syekhuna.
Mengenai keutamaannya terdapat dalam beberapa kitab salaf, diantaranya yaitu yang dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali sebagai berikut;

قَالَ اْلغَزَالِى فِى اْلإِحْيَاءِ مَنْ عَكَفَ نَفْسَهُ فِيْمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَاْلعِشَاءِ فِى مَسْجِدٍ جَمَاعَةً لَمْ يَتَكَلَّمْ إِلاَّ بِصَلاَةٍ أَوْ بِقُرْآنٍ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَبْنِىَ لَهُ قَصْرَيْنِ فِى الْجَنَّةِ مَسِيْرَةُ كُلِّ قَصْرٍ مِنْهُمَا مِائَةُ عَامٍ وَيَغْرِسُ لَهُ بَيْنَهُمَا غِرَاسًا لَوْ طَافَهُ أَهْلُ اْلأَرْضِ لَوَسِعَهُمْ
"Imam Ghozali berkata dalam kitab Ihya; Barangsiapa menahan dirinya (beri'tikaf) pada waktu diantara maghrib dan isya didalam masjid dengan berjamaah serta tidak berucap kecuali sholat atau membaca Al-qur'an, maka hak baginya dibangunkan oleh Allah dua istana disurga yang jarak diantara keduanya seratus tahun perjalanan. Dan Dia menumbuhkan untuknya tanaman diantara keduanya yang apabila seluruh penduduk bumi mengelilinginya maka akan memuat mereka semua."

2) I'tikaf Subuh sampai terbit matahari
Beri'tikaf dari shubuh sampai terbit matahari dan menjalankan sholat ishroq dan dhuha merupakan perbuatan para salafus sholih, karena mengandung banyak keutamaan, diantaranya yaitu:

فَقَدْ قَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ َلأَنْ اَقْعُدُ فِى مَجْلِسِى أَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى فِيْهِ مِنْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ إِلَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ
"Nabi saw. bersabda; sungguh aku duduk dalam majelisku untuk berdzikir kepada Allah dari mulai shalat shubuh sampai terbit matahari, itu lebih aku senangi daripada aku membebaskan empat orang hamba sahaya."

وَرُوِيَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله ص م مَنْ صَلَّى اْلفَجْرَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةً تَامَّةً تَامَّةً كَذَا فِى اْلأَذْكَارِ
"Barangsiapa shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian duduk sambil berdzikir kepada Allah sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, maka baginya pahala seperti pahala haji dan umrah dengan sempurna."
Kalimat tammatan diucapkan tiga kali tersebut bukanlah mengisyaratkan bahwa pahala haji dan umroh tiga kali hajian, tetapi merupakan kalimat ta'kid bahwa Rasul mengisyaratkan dengan seyakinnya bahwa I'tikaf dari shubuh sampai dhuha tersebut mengandung pahala haji dan umroh.

وَقَوْلُهُ تَامَّةً كَرَّرَهَا ثَلاَثًا لِلتَّأْكِيْدِ (خزينة الأسرار)
"dan diucapkan `tammatan` diulang tiga kali adalah untuk ta'kid (meyakinkan)."
Dikatakan bahwa shalat dua rakaat tersebut adalah shalat isyraq.
Mengenai sholat Isyraq terdapat beberapa literatur, seperti berikut;

.... (فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ) إِمَّا بِنِيَّةِ صَلاَةِ اْلإِشْرَاقِ بِنَاءً عَلَى اْلقَوْلِ بِأَنَّهَا غَيْرُ صَلاَةِ الضُّحَى ...
"…..(maka solatlah dua rokaat) bisa dengan niat isyrok berdasarkan satu pendapat (qaul) bahwa shalat isyraq itu bukanlah shalat dluha."

الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ الْبُسْطَامِى قُدِّسَ سِرَّهُ فِى تَرْوِيْحِ اْلقُلُوْبِ يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِنِيَّةِ صَلاَةِ اْلإِشْرَاقِ.
"Syekh Abdurrohman Al-Bustomi mudah-mudahan disucikan hatinya (untuk menentramkan hati) -didalam kitab Tarwihul qulub- maka shalat empat rakaat dengan niat shalat isyraq."

3) Tawassul Fajar
Adalah Tawassul yang dilakukan pada waktu fajar (sebelum Subuh). Dengan tujuan membimbing hati untuk selalu berdzikir pada Allah. Karena waktu fajar merupakan waktu mustajab dan juga waktu yang sangat tenang, sehingga sangat cocok sebagai pelatihan khusyu'. Mengenai tawassul diwaktu fajar ini terdapat sebuah pendapat sebagai berikut:

(وَأَمَّا) مَا يُفْعَلُ لَيْلاً قَبْلَ اْلفَجْرِ مِنَ التَّسَابِيْحِ وَاْلإِسْتِغَاثَاتِ وَالتَّوَسُّلاَتِ الْمَعْرُوْفَةِ بِاْلأَبَدِ فَبِدْعَةٌ حَسَنَةٌ أَيْضًا وَلاَيَخْفَى مَافِى ذَلِكَ مِنَ الْحَثِّ عَلَى النَّشَاطِ لِلْعِبَادَةِ
"(dan adapun) sesuatu amalan yang dilaksanakan pada malam hari sebelum fajar seperti tasbih, istighosah, dan tawassul yang selama ini kita ketahui, maka itu adalah bid'ah hasanah (baik) dan tidak samar lagi tujuan dari amalan tersebut yaitu untuk mendorong giatnya beribadah."

4) Aurod Ati Salim
Aurod Ati salim adalah wirid yang dibaca setelah sholat tahajjud. Wirid ini dibaca sebelum Tawassul Fajar, hal ini dilakukan sebagai penguat hati dalam mempertahankan keimanan dari godaan syetan yang dilakukan diwaktu mustajab, sehingga dianjurkan untuk banyak berdzikir. Mengenai waktu mustajab ini dijelaskan sebagai berikut:

وَرُوِيَ أَيْضًا أَنَّ كُلَّ لَيْلَةٍ فِيْهَا سَاعَةُ إِجَابَةٍ كَذَا فِى التُّحْفَةِ
"Dan diriwayatkan juga bahwa sesungguhnya pada setiap malam terdapat didalamnya waktu mustajab (mudah terkabul). Seperti yang tertera dalam kitab tuhfah."


5) Puji Dina
Puji dina adalah wirid yang dibaca setiap hari, dengan bacaan yang berbeda pada setiap harinya. Cara membacanya tidaklah diharuskan dimasjid, tetapi dimana saja kita berada dan pada kondisi apapun. Hal ini sesuai dengan pelaksanaan uzlah, bahwa uzlah adalah menyendiri untuk berdzikir ditengah-tengah hiruk pikuk kehidupan dunia.


2. Metode Dzikir dalam Tuntunan Syekhuna
a. Tawassul
Tawassul dalam arti bahasa adalah perantara, segala sesuatu yang menggunakan perantara adalah tawassul. Sebagai contoh makan, dalam praktiknya nasi sebagai perantara dalam mengenyangkan perut, artinya manusia bertawassul kepada nasi dalam hal mengenyangkan perut. sedangkan dalam arti istilah adalah berdo’a/ memohon kepada Allah dengan perantaraan kemuliyaan para shalihin.
Dalam Al-quran surat Al-Maidah ayat 35 dikemukakan perintah untuk mencari wasilah/ jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِى سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) dijalan-Nya agar kamu beruntung."
Maksud hakiki dari tawassul adalah Allah swt. sedangkan sesuatu yang dijadikan sebagai perantara hanyalah berfungsi sebagai pengantar dan atau mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. artinya tawassul merupakan salah satu cara atau jalan berdo’a dan merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu menghadap Allah swt

Dalam memahami hakikat tawassul, terdapat beberapa pendapat yang mengharamkan tawassul dengan alasan tawassul tersebut identik dengan memohon pertolongan kepada selain Allah, dan hal ini dihukumi musyrik. Namun mereka tidak menyalahkan orang yang bertawassul dengan amal shalih. Orang yang berpuasa, sholat, membaca Al-qur’an, berarti dia bertawassul dengan puasanya, shalatnya, dan bacaan Al-qur’annya untuk mendapatkan ridho Allah. Bahkan tawassul; dimaksud lebih memberi optimisme untuk diterima dan tercapainya tujuan. Dalam hal ini tidak ada perselisihan sedikitpun. Dalilnya adalah hadits mengenai tiga orang yang terkurung dalam gua. Orang pertama bertawassul dengan baktinya kepada orangtua, orang kedua bertawassul dengan sikapnya menjauhi perilaku keji, dan orang ketiga bertawassul dengan kejujurannya dalam memelihara harta orang lain. Maka Allah swt kemudian berkenan melapangkan kesulitan yang sedang mereka alami.

Masalah yang biasa diperselisihkan adalah bertawassul dengan kemuliyaan para shalihin, seperti bertawassul dengan Nabi Muhammad saw, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan sebagainya, maka tawassul seperti ini ada yang menyalahkan.
Perbedaan pendapat ini, hanyalah bersifat lahiriyah, artinya pada bentuknya saja, dan bukan pada substansinya. Lantaran bertawassul dengan manusia pada hakikatnya kembali kepada bertawassul dengan amalnya. Karena sesungguhnya perantara (washilah) itu memiliki kehormatan, kemuliyaan yang tinggi, dan amal yang diterima oleh Allah swt. seperti halnya para sahabat nabi bersolawat badar sebagai permohonan masuk surga. Dengan membaca shalawat tersebut, jelaslah bahwa para sahabat memohon dengan derajatnya Nabi Muhammad saw. dan bukan dengan dzatnya.
Mengenai bertawassul dengan derajatnya Nabi Muhammad saw. pun telah dilakukan oleh Nabi adam As. Seperti yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Bakar Ash-shiddiq RA. sebagai berikut;

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ص م: لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَّا غَفَرْتَ لِى فَقَالَ الله يَا آدَمُ وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ قَالَ يَارَبِّ ِلأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِى بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِى فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ اْلعَرْشِ مَكْتُوْبًا لاَاِلَهَ إِلاَّ الله مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ الله وَعَرَفْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلاَّ أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ. فَقَالَ اللهُ صَدَقْتَ يَاآدَمُ إِنَّهُ َلأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ إِنْ سَأَلْتَنِى بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُكَ وَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَاخَلَقْتُكَ. قَالَ الْحَاكِمُ هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ اْلإِسْنَادِ وَذَكَرَهُ الطَّبْرَانِىُّ وَزَادَ فِيْهِ وَهُوَ آخِرُ اْلأَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ.
“Tatkala adam berbuat kesalahan lantas beliau berdo’a: ‘Dengan berkat Muhammad ampuni aku’ Maka Allah swt berfirman kepadanya: ‘Bagaimana kau tahu tentang Muhammad sedangkan aku belum menciptakannya?’ Maka adam menjawab: ‘Ya tuhan sesungguhnya setelah Engkau menyempurnakan kejadianku dan meniupkan ruh-Mu kepadaku, aku mengangkat kepala kearah Arasy-Mu, maka aku lihat ada tulisan La ilaha illallah Muhammadur rasulullah, maka kutahu bahwa tidak akan engkau letakkan namanya disamping nama-Mu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai’ Maka Allah berfirman: ‘Hai adam engkau benar, sesungguhnya ia adalah makhluk yang paling aku cintai, dan apabila engkau meminta ampunan kepadaku dengan derajatnya maka aku mengampunimu, dan seandainya bukan karena dia maka aku tidak akan menciptakanmu’.”
Begitupun bertawassul dengan para sholihin telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Nabi saw. bertawassul kepada para nabi sebelum beliau dengan doa sebagai berikut:

إِغْفِرْ ِلأُمِّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَسَدٍ وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا ِبحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ اَّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِى (رواه الطبرانى وصححه ابن حبان)
“Ampunilah dosa Ummu Fatimah binti Asad dan luaskanlah tempatnya dengan bertawassul kepada nabiMu dan para nabi sebelumku."
Dan telah dikatakan pula bahwa bertawassul dengan para Shalihin adalah diperbolehkan seperti berikut;

اَلتَّوَسُّلُ بِاْلأَنْبِيَاءِ وَاْلأَوْلِيَاءِ فِى حَيَاتِهِمْ وَبَعْدَ وَفَاتِهِمْ مُبَاحٌ شَرْعًا كَمَا وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّةُ الصَّحِيْحَةُ
وَعِبَارَةُ ك وَأَمَّا التَّوَسُّلُ بِاْلأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ فَهُوَ أَمْرٌ مَحْبُوْبٌ ثَابِتٌ فِى اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ وَقَدْ أَطْبَقُوْا عَلَى طَلَبِهِ بَلْ ثَبَتَ التَّوَسُّلُ بِاْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَهِيَ أَعْرَاضٌ فَبِالذَّوَاتِ أَوْلَى
"Adapun tawassul dengan para nabi dan para wali dimasa hidupnya dan sesudah wafatnya itu diperbolehkan menurut hukum syara', seperti yang diriwayatkan dalam hadits yang shoheh."
adapun tawassul dengan para nabi dan para solihin adalah sesuatu yang dicintai syara' dan sudah ditetapkan dengan hadits yang shoheh dan para ulama telah bersepakat dengan menjalankan tawassul bahkan sudah tetap (diperbolehkan) tawassul dengan amal shaleh, padahal amal shaleh itu suatu sifat, maka lebih-lebih tawassul dengan dzat."
Ditinjau dari beberapa referensi tersebut, jelaslah bahwa tawassul merupakan sesuatu yang dikerjakan/ dilakukan oleh Rasulullah saw., sehingga tawassul merupakan sunnah Rasulullah dan bukanlah bid'ah.
Dalam kaitannya dengan Tawassul Asy-syahadatain, terdapat beberapa hal yang perlu dipaparkan, yaitu:
1) Pemakaian Nama Syekh hadi untuk Syekhuna
Gelar bagi syekhuna adalah syekh Hadi, syekh Alim, syekh Khabir, syekh Mubin, syekh Wali, syekh Hamid, syekh Qowim, dan syekh Hafidz. Penyebutan gelar ini sesuai dengan fungsinya sebagai guru, yaitu memberikan petunjuk, pengetahuan, dan penjelasan bagi para salik yang menjadi muridnya. Serta memberikan Rahmat, pengawasan dan menjaga murid-muridnya dari segala gangguan yang akan menjerumuskan mereka.
Mengenai pemakaian Asma Allah yang disandarkan kepada makhluk adalah banyak sekali contohnya didalam Al-quran, seperti yang terdapat didalam surat At-Taubah ayat 138 yang mensifatkan Rasul saw. dengan sebutan Rauf dan Rahim, sedangkan asma tersebut merupakan Asma Allah, dan masih banyak pula ayat Al-quran yang memberikan contoh seperti tersebut.
Demikian pula terdapat beberapa pendapat para ulama bahwa Allah akan memberikan asma (nama) dari asma Allah kepada hamba yang dicintai-Nya, termasuk syekhuna.

إِنَّ اللهَ تَعَالَى أَعْطَي اْلعَبْدَ أَوْصَافًا وَأُطْلِقَتْ عَلَيْهِ كَمَا أُطْلِقَتْ عَلَيْهِ تَعَالَى تَشْرِيْفًا لِلْعَبْدِ كَالْعَالِمِ وَالْحَيِّ لَكِنَّهَا مُبَايِنَةٌ وَمُغَايِرَةٌ لِصِفَاتِ اْلبَارِى تَعَالَى فِى الْحَقِيْقَةِ
"Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada hambaNya beberapa sifat dan ditetapkan kepadanya (hamba), seperti ditetapkannya pada Allah (dengan maksud) sebagai penghormatan kepada hambaNya, seperti Alim (mengetahui) dan hidup, akan tetapi pada hakekatnya jelas berbeda dengan sifat Allah."

إِذَا أَحَبَّ الله عَبْدًا فَيُعْطِيه اللهُ صِفَةً مِنْ صِفَاتِهِ
"Apabila Allah mencintai hambanya, maka Allah memberinya satu sifat diantara sifat-sifat-Nya."
Dengan demikian, tidaklah salah apabila nama-nama tersebut disandarkan pada syekhuna, karena syekhuna merupakan Ahli Nabi (orang yang menjalankan dan mengajarkan sunnah dan sirah nabi) yang membina ummat manusia untuk menjalankan perintah Allah dan RasulNya.
2) Berdoa dengan suara yang keras, Berdoa sambil bergoyang, dan berdoa dengan tangan keatas.
Berdo'a dengan menggunakan metode Jahr (membacanya dengan suara yang keras). Hal ini dilakukan karena dengan Jahr dapat mengalahkan hati yang lalay, ngantuk, dan semacamnya.
Mengenai berdoa dan berdzikir dengan suara keras ini diriwayatkan bahwa Sayyidina Umar bin Khattab berdzikir dengan suara keras, sedangkan Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq berdzikir dengan suara pelan (sir), maka ketika ditanya oleh Nabi saw. Umar menjawab: berdzikir dengan suara keras itu dapat menolak bisikan-bisikan atau angan-angan yang jelek, melatih hati, membangkitkan hati yang lalai, dan menyempurnakan amal. Dan Abu Bakarpun menjawab: bahwa dzikir dengan suara pelan adalah Mujahadatun Nafsi, dan menuju jalan keikhlasan. Dan dikatakan pula bahwa berdzikir dengan suara pelan itu Littabarruk, dan berdzikir dengan suara keras itu Littarbiyyah Was Suluk.

.... وَلِذَالِكَ تَجِدُ بَعْضَهُمْ يَخْتَارُ الْجَهْرَ لِدَفْعِ اْلوَسَاوِسِ الرَّدِيْئَةِ وَاْلكَيْفِيَّاتِ النَّفْسَانِيَّةِ وَإِيْقَاظِ اْلقُلُوْبِ اْلغَافِلَةِ وَإِظْهَارِ اْلأَعْمَالِ الْكاَمِلَةِ وَبَعْضَهُمْ يَخْتَارُ اْلإِسْرَارَ بِمُجَاهَدَةِ النَّفْسِ وَتَعْلِيْمِهَا طُرُقَ اْلإِخْلاَصِ وَإِيْثَارِهَا الْخُمُوْلَ. وَقَدْ وَرَدَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُ كَانَ يَجْهَرُ وَأَبُو بَكْرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ كَانَ يُسِرُّ فَسَأَلَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجَابَ كُلٌّ بِنَحْوِ مَا ذَكَرْتُهُ فَأَقَرَّهُمَا. ...
"Oleh karena itu kamu menemukan sebagian ulama memilih Jahr (mengeraskan suara dalam berdzikir)-dengan tujuan- untuk menolak was-was yang merendahkan dan semua praktek yang berlandaskan hawa nafsu, untuk membangunkan hati yang lalai, dan menampakkan amalan-amalan yang sempurna. Dan (kamu menemukan) sebagian ulama (yang lain) memilih Israr (melirihkan suara dalam berdzikir) dengan (maksud) memerangi nafsu, mengajarinya jalan-jalan ikhlas, dan mengarahkannya pada berlaku samar (dari sepengetahuan orang lain). Dan diriwayatkan bahwa Umar ra. (memilih) mengeraskan suara (ketika berdzikir), sedangkan Abu Bakar ra. (memilih) melirihkan suara (ketika berdzikir), maka mereka berdua ditanya oleh Nabi saw. dan mereka menjawab seperti apa yang telah saya sebutkan. Maka Nabi saw. mengakui (alasan) mereka berdua."
Kedua cara berdoa tersebut memiliki keutamaan masing-masing sehingga Syekhuna menuntun para santrinya untuk menjalankan kedua cara berdzikir tersebut, yaitu dengan membagi dzikir kedalam dua kategori keras (jahr) seperti tawassul, marhaban, wirid shalat dll., serta dengan kategori pelan (sirr) seperti puji dina, modal, dll.

Mengenai Ayat Al-quran dalam surat Al A’rof ayat 205 tentang perintah berdzikir dengan suara pelan, terdapat penjelasan dalam kitab An-Nashihu Ad-Diniyah karya Sayid Abdullah Al-Hadad, hal 132 bahwa ayat tersebut merupakan surat makiyah, sehingga disaat itu dianjurkan untuk memelankan suara disaat berdzikir dan membaca Al-quran karena dihawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Dzikir dan wirid dengan suara yang keras adalah merupakan pelajaran pertama bagi para salik (orang yang mencari ma'rifat billah) untuk mengalahkan hati yang lalay, sehingga dianjurkan bagi para pemula untuk mengkeraskan suaranya disaat berdzikir.

وَالشَّيْخُ الْمُرْشِدُ قَدْ يَأْمُرُ الْمُبْتَدِئَ بِرَفْعِ الصَّوْتِ لِيَقْلَعَ عَنْ قَلْبِهِ الْخَوَاطِرَ الرَّاسِخَةَ
"dan seorang guru mursyid (terkadang) menyuruh mubtadi' (pemula) dengan mengeraskan suaranya (ketika berdzikir) agar ia dapat menghilangkan dari hatinya kehendak-kehendak nafsu yang sudah mengakar."
Begitupun berdoa dengan bergoyang-goyang seperti pohon tertiup anginpun terdapat dasar hukumnya yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Nu'aim sebagai berikut;

وَرَوَي الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَصْفِهَانِى بِسَنَدِهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّهُ وَصَفَ الصَّحَابَةَ يَوْمًا فَقَالَ: كَانُوا إِذَا ذَكَرُوْا اللهَ مَادُوْا كَمَا تَمِيْدُ الشَّجَرُ فِى اْليَوْمِ الشَّدِيْدِ الرِّيْحِ وَجَرَتْ دُمُوْعُهُمْ عَلَى ثِيَابِهِمْ
"Dan meriwayatkan imam Hafidz Abu Na'im Ahmad Ibnu Adillah Al-Asfihani dengan sanadnya dari Ali bin Abi Tholib ra. Bahwa beliau pada suatu hari menerangkan keadaan para sahabat, beliau berkata: ketika mereka berdzikir pada Allah, mereka bergerak-gerak seperti gerakannya pohon yang dihembus oleh angin kencang (besar) dan air mata mereka mengalir membasahi pakaian mereka."
Begitupun yang dipaparkan oleh para ulama

(لاَالرَّقْصُ) فَلاَيَحْرُمُ وَلاَيُكْرَهُ ِلأَنَّهُ مُجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوْ إِعْوَاجٍ إِلَى أَنْ قَالَ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ تَكْسِيْرٌ كَفِعْلِ الْمُخَنِّثِ
"(Tidak `demikian hukumnya` goyang-goyang) maka tidak diharamkan dan tidak pula dimakruhkan, sebab hal itu hanya berupa gerakan-gerakan searah atau sedikit miring (doyong). Sampai pada perkataan… kecuali apabila goyang-goyang tersebut disertai gerakan meliuk-liuk seperti yang dilakukan oleh orang banci (maka hukumnya haram)."
Dalam tuntunan Syekhuna terdapat wirid-wirid yang dibacanya dengan posisi berdiri, hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada asma nabi Muhammad saw yang dibaca. Dan tidak diketemukan sebuah dalil tentang larangan berdzikir sambil berdiri. Dengan demikian, praktek seperti itu dapat dilaksanakan. Dalam surat Annisa ayat 103 dan surat Ali Imron ayat 191 terdapat perincian/ contoh tentang berdzikir dengan posisi berdiri, duduk, dan lainnya. Hal ini mengisyaratkan tentang tidak dilarangnya berdzikir dengan posisi apapun selama tidak dengan tujuan menghinakan asma Allah dan rasul-Nya.

وَقَالَ مُجَاهِدٌ لاَيَكُونُ مِنَ الذَّاكِرِيْنَ الله كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ حَتَّى يَذْكُرُ اللهَ قَائِمًا وَقَاعِدًا وَمُضْطَجِعًا (الأذكار ص 7)
"Dan berkata seorang Mujahid; tidak dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang banyak mengingat Allah dari golongan laki-laki dan perempuan, sehingga ia berdzikir (mengingat Allah) dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring".
Begitu pula tentang berdo'a dengan tangan keatas terdapat beberapa dalil, seperti

وَلِقَوْلِهِ ص م. إِنَّ الله حَيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ كَفَّيْهِ ثُمَّ يَرُدَّهُمَا صَفْرًا أَى خَائِبَيْنِ وَلأَنَّ السَّمَاءَ قِبْلَةَ الدُّعَاءِ
"Sesungguhnya Allah swt. itu hidup dan pemurah, Allah swt. malu pada hambanya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian kembali dengan kosong (tidak dapat apa-apa) dan karena sesungguhnya langit itu qiblatnya do'a."

(قَوْلَهُ وَرَفْعُ يَدَيْهِ) أَىْ وَسَنَّ رَفْعُ يَدَيْهِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَلَوْ فَقَدَتْ إِحْدَى يَدَيْهِ أَوْ كَانَ بِهَا عِلَّةُ رَفْعِ الآخَرِ (الطَّاهِرَتَيْنِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَمَسْحُ اْلوَجْهِ بِهِمَا بَعْدَهُ).
"Dan dikala berdoa, disunnahkanlah mengangkat kedua tangannya yang suci pada jurusan kedua bahunya, dan sunnah ula menyapu wajah dengan kedua tangannya sesudah berdoa."
Dijelaskan pula tentang posisi tangan ketika berdoa yaitu sampai terlihat putih-putih ketiaknya, hal ini seperti yang disampaikan oleh Imam Ghazali.

وَقَالَ الغَزَالِى حَتَّى يُرَى بَيَاضَ إِبْطِهِ
"Imam Ghazali berkata: (mengangkat tangan ketika berdoa) sehingga terlihat keputih-putihan dua ketiaknya." 

وَرَوَي أَنَسٌ أَنَّهُ ص م. كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطِهِ فِى الدُّعَاءِ وَلاَيُشِيْرُ بِأَصَابِعِهِ
"Anas ra. Meriwayatkan bahwa, sesungguhnya Nabi saw. mengangkat kedua tangannya ketika berdoa sehingga terlihat putih-putih ketiaknya dan beliau tidak berisyarat dengan jari-jarinya."
Begitupun mengenai posisi berdoa terkadang menggunakan telapak tangannya dan terkadang pula menggunakan punggung telapak tangannya (telungkup tangannya), hal ini terdapat sebuah riwayat sebagai berikut:

وَقَدْ جَاءَ أَنَّهُ ص م. كَانَ عِنْدَ الرَّفْعِ يَجْعَلُ بُطُوْنَ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ وَتَارَةً يَجْعَلُ ظُهُوْرَهُمَا إِلَى السَّمَاءِ وَحَمَلُوْا اْلأَوَّلَ عَلَى الدُّعَاءِ بِحُصُوْلِ مَطْلُوْبٍ أَوْ دَفْعِ مَا قَدْ يَقَعُ بِهِ مِنَ اْلبَلاَءِ وَالثَّانِى عَلَى الدُّعَاءِ بِرَفْعِ مَاوَقَعَ بِهِ مِنَ اْلبَلاَءِ
"Dan diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. ketika berdo'a terkadang menjadikan telapak tangannya diatas, dan terkadang menjadikan telapak tangannya menelungkup. Para ulama menafsirkan perbuatan Nabi yang pertama (dengan posisi membuka) dalam berdoa adalah untuk keberhasilan sesuatu yang diharapkan atau menolak cobaan yang akan terjadi, dan perbuatan Nabi yang kedua (dengan posisi menelungkup) dalam berdoa untuk menghilangkan cobaan yang telah terjadi."



b. Marhaban
Marhaban menurut bahasa adalah ucapan selamat datang, sedangkan menurut istilah adalah pengucapan selamat datang kepada kedatangan Nabi Muhammad saw. dalam tugasnya dimuka bumi.
Sedangkan dalam konteks Asy-syahadatain adalah Hormat Nabi Muhammad saw. dengan pembacaan Al-Barzanji dan beberapa pujian kepada Baginda Nabi dan Ahlul bait sebagai implementasi cintanya kepada Beliau. Karena cinta kepada Rasulullah merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Dalam kitab Al Iman wa An Nudzur bab Kaifa Yaminun Nabiy terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Abdullah bin Hisyam dia berkata

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ص م وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ الله, َلاَنْتَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِى. فَقَالَ النَّبِيِّ ص م: لاَ, وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتىَّ اَكُونَ اَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ: فَإِنَّهُ اْلآن وَالله َلأَنْتَ اَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِى. فَقَالَ النَّبِى ص م: الآن يَا عُمَرُ
"Dulu kami pernah bersama nabi, sedangkan beliau waktu itu menggandeng tangan umar bin khattab ra. Maka umar berkata kepada Nabi saw. ya Rasulullah sesungguhnya engkau lebih aku cintai dibanding lainnya, kecuali diri saya sendiri. Maka Nabi bersabda: Tidak, Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya (Kekuasaan-Nya), sehingga aku lebih kau cintai daripada dirimu sendiri. Maka umar berkata: kalau demikian sekarang demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Nabi lalu berkata: Sekarang wahai Umar (sekarang sudah sempurna imanmu wahai umar)."

عن انس ابن مالك قال: قال رسول الله ص م: لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتىَّ أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْن. (رواه مسلم)
"Dari Anas bin Malik dia berkata; Rasulullah saw bersabda: Tidak sempurna iman seseorang, sehingga aku lebih ia cintai dibanding keluarganya, hartanya, dan manusia semua."
Allah berfirman dalam surat Ali imron ayat 31 bahwa tanda/ciri mencintai Allah adalah mengikuti nabi saw
.
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْم
"Katakanlah; "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu", Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
Dari bunyi ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Tanda cinta kepada Allah adalah cinta kepada Rasulullah, dan tanda cinta kepada Rasul adalah dengan mengikuti Sunnah / Sirah Rasulullah. Karena kehidupan Rasulullah saw. adalah wujud hidup dari ajaran islam seperti yang diperintahkan Allah swt. untuk diterapkan dialam nyata. Sehingga ajaran islam itu bukan hanya untuk didalam masjid saja.
Salah satu cara agar cinta kepada Rasulullah saw. adalah dengan mengenal beliau dengan membaca sejarah kehidupan dan kemuliaannya, dan atau dengan membacakan puji-pujian kepadanya, serta mengikuti sunnah-sunnahnya.

Dalam Tuntunan Syekhuna, cinta kepada Rasulullah dan Ahlul Baitnya merupakan pokok utama dalam menapaki jalan menuju ridho Allah.
Marhaban dan tawassul merupakan dua peninggalan/ warisan dan wasiat Syekhunal Mukarrom untuk para santrinya, sebagai salah satu cara memohon syafaat kepada Rasulullah dan penambah cintanya kepada Rasulullah saw., sehingga salah satu syarat menjadi santrinya adalah istiqomah dalam menjalankan Marhaban dan Tawassul tersebut.

c. Rahasia amalan atau aurod tahsis syekhuna
1) Membaca Syahadat setelah salam dari sholat
Membaca wirid atau doa setelah shalat maktubah adalah merupakan amalan yang sangat baik, hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi bahwa doa setelah shalat akan lebih didengar (dikabulkan) oleh Allah.

رَوَيْنَا فِى كِتَابِ التِّرْمِيْذِى عَنْ أَبِى أُمَامَةَ رَضِيَ الله عَنْه قَالَ قِيْلَ لِرَسُوْلِ الله ص.م أَيُّ الدُّعَاء أَسْمَعُ؟ قَالَ جَوْفُ اللَّيْلِ اْلآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ اْلمَكْتُوْباَتِ (الأذكار النواوى ص 57)
"Diriwayatkan didalam kitab Attirmidzi dari Abi Umamah ra. Berkata: Rasulullah saw. Telah ditanya; Doa apa yang paling didengar? Maka Rasul menjawab: (Doa yang dibaca) ketika tengah malam terakhir dan (Doa yang dibaca) setelah shalat fardhu".
Dan diriwayatkan pula dalam sebuah hadits bahwa Rasul memohon ampunan kepada Allah setiap selesai melaksanakan shalat fardhu.

وَفِى الْحَدِيْثِ أَنَّهُ كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَغْفِرُ اللهَ تَعَالَى عَقِبَ كُلِّ مَكْتُوْبَةٍ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (المنح السنية ص 15)
"Dan dalam sebuah hadits sesungguhnya Rasul saw. memohon ampunan kepada Allah pada setiap selesai shalat fardhu dengan tiga kali"
Dengan demikian telah jelas bahwa dianjurkan berdzikir setelah shalat fardhu, terutama dengan memohon ampunan kepada Allah atas segala kehilafan.
Syahadat merupakan penghancur dan pelebur dosa bahkan kemusyrikan, sehingga membaca syahadat setelah sholat merupakan sunnah rasul, hal ini pun didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Anas ra. bahwa Rasul membaca syahadat ketika selesai dari shalat, hadits tersebut berbunyi;

وَرَوَيْنَا فِى كِتَابِ ابْنِ السُّنِّى , عَنْ أَنَسٍ رَضِىَ الله عَنْهُ, قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله ص.م. إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى, ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ, اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّى الْهَمَّ وَالْحَزَنَ
"Artinya: Dan telah kami riwayatkan dalam kitab Ibnu Sunni, dari Anas RA. Dia berkata : Bahwa Rasulallah saw memegang dahi beliau setelah selesai sholat dengan tangan kanan, dan kemudian beliau membaca : “Asyhadu ……….” (aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alah swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ya Alah swt lepaskanlah dariku kesusahan dan kesedihan)."
Syahadat yang dibaca oleh Rasulallah tidak disertai dengan Syahadat Rasul, hal ini didasarkan bahwa beliaulah sendiri sebagai rasulnya, jadi sudah tentu beliau menyaksikannya. Sedangkan kita sebagai ummatnya diwajibkan membacanya sebagai kesempurnaan iman kita.
Dalam tuntunan Syaikhuna, pembacaan syahadat tersebut dilangsungkan dengan membaca shalawat (atau yang dikenal dengan nama syahadat sholawat). Hal ini merupakan penghormatan kepada asma nabi saw. yaitu dengan mengucapkan sholawat pada saat menyebutkan namanya. Hal inipun pernah dilakukan oleh orang-orang arif terdahulu, seperti yang tertulis dalam kitab-kitab salaf, diantaranya adalah;

....... فَأَتَى إِلَى بَعْضِ الْمُسْلِمِيْنَ يُلَقِّنُهُ الشَّهَادَةَ وَيُكَرِّرُهَا عَلَيْهِ, ثُمَّ يَقُوْلُ بَعْدَ ذَالِكَ : صَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ........
"Artinya: ….. maka ia datang pada sebagian ummat islam agar dituntun membaca syahadat dan melafalkannya berulang-ulang, kemudian ia (sebagian ummat islam) berkata (setelah membaca syahadat); bersholawatlah kepada Nabi saw. ….."

وَرَوَيْنَا تَكْرِيْرُ شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّالله ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فِى كِتَابِ ابْنِ السُّنِّى مِنْ رِوَايَةِ عُثْمَان ابْنِ عَفَّان رضي الله عنه بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ, قَالَ الشَّيْخ نصر المقدسى وَيَقُوْلُ مَعَ هَذِهِ اْلأَذْكَارِ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ (الأذكار النواوى ص 24)
"Dan diceritakan tentang pengulangan syahadat dibaca tiga kali didalam kitab Ibnu Sunni dari riwayat Usman bin Affan ra. Dengan sanad dhaif, Syekh Nashr Al-Muqditsy berkata; dan dibaca bersamaan dengan dzikir ini (syahadat) kalimat `Allahumma shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammad` (bacaan shalawat)".
Pegucapan syahadat setelah sholat tersebut merupakan upaya memohon ampunan pada Allah atas kelalayan kita khususnya dalam mengerjakan sholat.
Setelah membaca dua kalimat syahadat dilanjutkan dengan membaca istighfar, hal ini sesuai dengan ayat Al-quran surat Muhammad ayat 9 sbb;

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَإِلَهَ إِلاَّالله وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ (محمد : 9)
"Maka ketahuilah, sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu, dan bagi dosa orang-orang mu’min (laki-laki dan perempuan)."

2) Membaca wasallam dan wasallim ketika membaca syahadat sholawat
Sebagian golongan menyalahkan tentang pembacaan kalimat "wasallam" pada tuntunan syekhuna dengan dalih bahwa "wasallam" adalah fi'il madhi sedangkan kalimat sebelumnya (yaitu Sholli) adalah fi'il Amar, sehingga kalimat tersebut tidak ta'alluk (cocok), karena seharusnya fi'il amar itu ta'alluknya dengan fi'il amar yaitu kalimat "wasallim".
Mengenai hal ini dijelaskan dalam kitab Hamisy Alfiyah Ibnu aqil bab Ataf sebagai berikiut

(وَعَطْفُكَ اْلفِعْلَ عَلَى اْلفِعْلِ) إِنِ اتَّحَدَا فِى الزَّمَانِ (يَصِحْ) نَحْوُ لِنُحْيِىَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا وَنُسْقِيَهُ وَلاَيَضُرُّ اخْتِلاَفَهُمَا فِى اللَّفْظِ
"(dan diathofkannya fi'il kepada fi'il adalah sah) apabila sama dalam satu zaman (yaitu sama dalam fi'il madhi, mudhori' dan amarnya), dan tidak berbahaya apabila berbeda zamannya (misalnya fi'il madhi dengan fi'il amar)."
Hal inipun dijelaskan pula sebagai berikut; 

(قَوْلُهُ وَفِى اْلأَفْعَالِ) أَىْ بِشَرْطِ اِتِّحَادِهَا زَمَنًا سَوَاءٌ إِتَّحَدَ نَوْعُهَا أَمْ لاَ
"(perkataannya: dan didalam fi'il) dengan syarat cocok zamannya/waktunya begitupula macamnya ataupun tidak sama (diperbolehkan tidak satu zaman)." 
Kedua kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa athaf antara fi'il dengan fi'il itu diperbolehkan, walaupun berbeda bentuk atau zamannya. Dengan demikian pembacaan "wasallam" pada syahadat sholawat tersebut diperbolehkan.
Mengenai manfa'at yang terkandung dari pembacaan syahadat tiga kali tersebut, syekhuna menadzomkan

Syahadataken sepisan sira macane
Nuhun selamet waktu naja ning dunyane
Maca syahadat sira kaping pindone
Nuhun selamet mungkar nakir jawabane
Maca syahadat ping telune aja blasar
Nuhun selamet landrat arah-arah mahsyar

(يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِاْلقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى اْلآخِرَةِ) وَيَكُوْنُ التَّثْبِيْتُ فِى ثَلاَثَةِ أَحْوَالٍ أَحَدُهَا فِى حَالِ مُعَايِنَةِ مَلَكِ الْمَوْتِ وَالثَّانِى فِى حَالِ سُؤَالِ مُنْكَرٍ وَنَكِيْرٍ وَالثَّالِثُ فِى حَالِ سُؤَالِهِ عِنْدَ الْمُحَاسَبَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (تنبيه الغافلين ص 14)
"Allah meneguhkan (menetapkan) iman orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (kalimat thayyibah) dalam kehidupan didunia dan Akhirat; dan penetapan (syahadat) tersebut pada tiga keadaan, yaitu: yang pertama ketika berhadapan dengan malikat maut (Naz'ir ruh), yang kedua ketika dalam menghadapi pertanyaan malaikat mungkar dan malikat nakir, dan yang ketiga ketika dalam keadaan menghadapi hisab dihari qiyamat (min Ahwali yaumil qiyamah)." 

3) Membaca yasin Syahatil wujuh
Dalam wirid maghrib terdapat bacaan surat yasin yang dipotong dengan kalimat "Syahatil wujuh" setelah membaca "La yubsirun". Hal ini terdapat contoh tentang kebolehan membaca Syahatil wujuh setelah membaca "la yubsirun", yaitu sebagai berikut; 

فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَيُبْصِرُوْن. شَاهَتِ اْلوُجُوْه ثَلاَثًا
Demikianlah yang tertera dalam kitab Dalailul Khoirot. Tersebut pula dalam beberapa kitab salaf tentang kebolehan membaca doa atau tasbih ditengah-tengah surat atau ayat Al-qur'an selama tidak khawatir terhadap dugaan bahwa do'a atau tasbih tersebut termasuk ayat al-qur'an, yaitu sebagai berikut;

وَفِى أَثْنَاءِ الْقُرْآنِ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ تَسْبِيْحٍ سَبَّحَ وَكَبَّرَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ دُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ دَعَا وَاسْتَغْفَرَ وَإِنْ مَرَّ بِمَخُوْفٍ إِسْتَعَاذَ يَفْعَلُ ذَلِكَ بِلِسَانِهِ أَوْ بِقَلْبِهِ (إحياء علوم الدين فى الجزء الأول ص 279)
"dan ditengah-tengah (bacaan) Al-quran, apabila ia melewati (membaca) ayat yang menjelaskan tentang tasbih, maka hendaklah ia membaca tasbih dan takbir. Apabila ia melewati (membaca) ayat tentang doa dan istighfar, maka hendaklah ia berdoa dan beristighfar. Dan apabila melewati (membaca) ayat tentang suatu hal yang ditakutkan, maka hendaklah ia memohon perlindungan. Ia melakukan semua itu dengan lisan dan hatinya." 

وَقَالَ الْحُلَيْمِىُّ تُكْرَهُ كِتَابَةُ اْلأَعْشَارِ وَاْلأَخْمَاسِ وَأَسْمَاءِ السُّوَرِ وَعَدَدِ اْلآياَتِ فِيْهِ لِقَوْلِهِ جَرِّدُوْا الْقُرْآنَ وَأَمَّا النُّطْقُ فَيَجُوْزُ ِلأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ صُوْرَةٌ فَيُتَوَهَّمُ ِلأَجْلِهَا مَالَيْسَ بِقُرْآنٍ قُرْآنًا وَإِنَّمَا هِيَ دِلاَلاَتٌ عَلَى هَيْئَةِ الْمَقْرُوْءِ فَلاَ يَظْهَرُ إِثْبَاتُهَا لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهَا (الإتقان فى الجزء الثالث ص 171)
"Imam Al-Hulaimi berkata; dimakruhkan menulis tanda sepersepuluh, seperlima (juz), nama-nama surat dan bilangan ayat didalam Al-quran, karena sabda Beliau; kosongkanlah Al-quran. Adapun sekedar mengucapkannya maka diperbolehkan, sebab ucapan tidak mempunyai bentuk. yang dimana dengan adanya bentuk tersebut, apa-apa yang bukan termasuk Al-quran bisa disangka termasuk Al-quran. Sesungguhnya ia (bentuk/rupa tersebut) hanya sebagai petunjuk bagi ayat yang dibaca, maka tidak tampak penetapannya bagi orang yang membutuhkannya." 

4) Sholawat Tunjina dengan dhomir mudzakkar
Sholawat tunjina pada umumnya adalah dengan menggunakan dhomir muannas yaitu dengan kalimat "Biha", namun dalam Tuntunan Syekhuna menggunakan dhomir mudzakkar yaitu dengan kalimat "Bihi". Hal ini disebabkan karena shalawat yang dibacanya pun berbeda, sehingga kedudukan dhamirnya pun berbeda.
Sholawat tunjina dengan dhomir mudzakkar tersebut kembali kepada Nabi, artinya memohon keselamatan dengan bertawassul kepada kemuliaan Nabi Muhammad. Sedangkan dengan dhomir muannas memiliki arti memohon keselamatan dengan bertawassul kepada sholawat Nabi.
Contoh yang menggunakan dhamir Muannas

اللهم صل على سيدنا محمد صلاة تنجينا بـها
Contoh yang menggunakan dhamir mudzakkar

اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا ومولانا محمد الذى تنجينا بـه
5) Membaca wirid dengan Dhomir "Hu.."
Dalam tuntunan syekhuna terdapat satu metode wirid yang asing menurut umum, namun didalamnya mengandung makna yang besar. Wirid tersebut adalah pengucapan lafadz "Hu".
Lafadz “HU..” merupakan domir (kata ganti) yang kembali pada Allah. Cara membacanya: disaat membaca “HU..” nafas dikeluarkan. Kemudian menarik nafas dengan mengucapkan “ALLAH” didalam hati, dan begitulah seterusnya hingga merasa sudah lebih mendekati eling, barulah dilanjutkan dengan bacaan “HU… ALLAH” artinya kata Allah yang ada dalam hati dikeluarkan dengan keras. Dengan tujuan melatih hati untuk belajar eling.
Metode dzikir seperti inipun (dengan menggunakan lafadz "Hu") telah dilakukan oleh para salafus shalih, hal ini didasarkan pada kutipan berikut;

... الذِّكْرُ بِثَلاَثَةَ عَشَرَ إِسْمًا. كُلُّ اسْمٍ يُذْكَرُ مِائَةَ أَلْفِ مَرَّةٍ وَهِيَ هَذِهِ : لاَإِلَهَ إِلاَّالله. هُـوْ . حَيٌّ . وَاحِدٌ .....الخ (فى هامش القواعد العاشرة ص 126)
“Dzikir itu mempunyai tiga belas (13) nama, setiap nama (asma Allah) dibaca 100.000 kali yaitu : Laa ilahaa illallah . Huu . ……” 

6) Menyebutkan kalimat Ali Jibril (keluarga Jibril)
Dalam tuntunan syekhuna terdapat doa yang bertawassul kepada para nabi, wali, dan para malaikat seperti berikut;
اللهم بجاه آدم العالى الهادى و آل آدم العالى الهادى .....
"ya Allah dengan derajat keagungannya Nabi Adam dan Keluarga Nabi Adam ………"
Dari kutipan doa tersebut tidaklah tampak suatu masalah, karena pada hakekatnya Nabi Adam memiliki keluarga. Akan tetapi pada lanjutan dari doa tersebut disebutkan nama para malaikat dan keluarganya dengan kutipan sebagai berikut; 

اللهم بجاه جبريل العالى الهادى و آل جبريل العالى .....
"ya Allah dengan derajat keagungannya Malaikat Jibril dan Keluarga Malaikat Jibril ………"
Sehingga banyak kalangan yang menyalahkan doa tersebut, dengan alasan bahwa malaikat tidaklah memiliki keluarga seperti manusia/nabi.
Pandangan mengenai doa tersebut merupakan pandangan yang dangkal terhadap penafsiran suatu doa atau kalimat. Dalam doa tersebut disebutkan "Ali Adam, Ali Jibril, dst".
Kata/kalimat "Ali" dalam kalimat arab memiliki 12 makna, sehingga tidaklah hanya diartikan sebagai keluarga nasab saja. Seumpama dengan istilah keluarga Nabi Nuh, beliau memiliki seorang anak yang membangkang. Maka anak tersebut bukanlah sebagai keluarga Nuh, sehingga keluarga nasab tidaklah termasuk dalam istilah "Ali" / keluarga disini.
Begitupun dengan keluarga Fir'aun, dalam Al-quran surat Al-Baqarah ayat 48 disebutkan tentang keluarga fir'aun, dan didalamnya tidak termasuk istri firaun yaitu siti Asiyah, sehingga arti atau makna dari kata "Ali" disini adalah teman-teman seakidahnya.

قوله (مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ) لاَيُرَدُّ أَنَّ الآل لاَيُضَافُ إِلاَّ لِذِى شَرَفٍ ِلأَنَّ فِرْعَوْنَ ذُو شَرَفٍ دُنْيَوِيٍّ, وَالْمُرَادُ أَعْوَانُهُ (تفسير الصاوى فى الجزء الأول ص 50)
"(dari keluarga/golongan fir'aun) tidak ditolak [fir'au menggunakan kalimat 'Ali fir'aun'] sesungguhnya lafadz 'Ali' tidak disandarkan kecuali kepada yang memiliki kemuliaan, dan karena sesungguhnya fir'aun memiliki kemuliaan dunia [seorang raja mesir], dan yang dimaksud [Ali Fir'aun] adalah teman/ bala tentaranya".
Dengan demikian, kalimat keluarga malaikat Jibril adalah bala tentaranya, karena Allah menciptakan Jibril dengan rupa yang sama bukan satu wujud saja, sehingga dikatakan sebagai "Jabro'il".
Keterangan mengenai bala tentara jibril tersebut sebagai berikut:

وَأَمَّا جِبْرِيْل .... وَيُرْوَى أَنَّهُ يَنْغَمِسُ فِى بَحْرِ النُّوْرِ كُلَّ يَوْمٍ ثَلاَثَمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ مَرَّةً فَإِذَا سَقَطَتْ مِنْهُ قَطْرَاتٌ مِنَ النُّوْرِ فَيَخْلُقُ اللهُ مِنْ تِلْكَ اْلقَطَرَاتِ مَلاَئِكَةً عَلَى صُوْرَتِهِ يُسَبِّحُوْنَ اللهَ تَعَالَى إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ..... (بدائع الزهور ص35)
"Dan diriwayatkan sesungguhnya (Jibril) menyelam didalam lautan cahaya (nur) setiap hari 360 kali, maka ketika (jibril) keluar dari lautan tersebut, menetes darinya tetesan-tetesan cahaya. maka Allah menciptakan dari tetesan-tetesan tersebut malaikat yang serupa ujudnya (dengan malaikat jibril), maka mereka mensucikan Allah sampai hari kiamat".
Dalam kitab yang samapun dijelaskan pula bahwa selain malaikat jibrilpun memiliki bala tentara seperti halnya malaikat jibril.
Bahkan terdapat keterangan sebagai berikut;

فَجَأَةِ الْمَلَكُ الْمَوْتُ أَوْ بَعْضُ أَعْوَانِهِ (الفتاوى الحديثية ص 20)
"maka malaikat maut atau sebagian bala tentaranya telah datang". 

7) Qunut Nazilah
Qunut Nazilah adalah qunut yang dibaca pada I'tidal rokaat akhir sholat fardhu yang lima waktu. Qunut nazilah ini banyak dilakukan oleh para ulama salaf karena berkenaan dengan sebab-sebab tertentu, seperti karena adanya wabah penyakit, dsb. Keterangan mengenai qunut nazilah ini banyak terdapat dalam kitab-kitab salaf, diantaranya adalah;

(ثُمَّ) بَعْدَ ذَلِكَ سُنَّ (قُنُوْتٌ فِى اعْتِدَالِ آخِرَةِ صُبْحٍ مُطْلَقًا وَ) آخِرَةِ (سَائِرِ الْمَكْتُوْبَاتِ لِنَازِلَةٍ) كَوَبَاءٍ وَقَحْطٍ وَعَدُوٍّ (فتح الوهاب فى الجزء الأول ص 43)
"Kemudian setelah itu (setelah I’tidal) disunnahkan qunut disaat I’tidal pada akhir sholat subuh, dan akhir seluruh sholat fardu dikarenakan ada cobaan yang turun (menimpa/Nazilah), seperti penyakit wabah, kemarau, dan musuh." 

8) Imam menghadap makmum
Ketika berdzikir selesai salam dari shalat, maka dianjurkan bagi imam untuk memutar tubuhnya sehingga menghadap makmum. Hal ini dimaksudkan mendidik makmum untuk berdzikir dengan melakukan pengawasan yang penuh. Mengenai posisi imam setelah salam dari sholat yaitu menghadap makmum, tersebut dalam beberapa kitab salaf diantaranya adalah;

بَابُ يَسْتَقْبِلُ اْلإِمَامُ النَّاسَ إِذَا سَلَّمَ حَدَّثَنَا عَنْ سَمُرَةَ بْن جُنْدَبٍ قَالَ كَانَ النَّبِي ص م. إِذَا صَلَّى صَلاَةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ (صحيح البخارى فى الجزء الأول ص 205)
"(Bab tentang menghadapnya imam kepada makmum setelah salam) diceritakan kepadaku dari samuroh bin Jundab ia berkata: Rasulullah saw. apabila selesai sholat, maka beliau menghadap kami dengan wajahnya" 

أَمَّا اْلإِمَامُ فَيُسْتَقْبَلُ الْمَأْمُوْمِيْنَ بِوَجْهِهِ فِى الدُّعَاءِ وَلِكُلِّ جُلُوْسٍ ذَاكِرًا اللهَ تَعَالَى بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ إِلَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ (إرشاد العباد ص 20)
"adapun bagi imam, maka hendaknya menghadap makmum dengan wajahnya didalam berdoa, dan bagi setiap duduk berdzikir kepada Allahsetelah sholat subuh sampai matahari terbit." 

9) Wanita sholat jama'ah dan jum'at dimasjid
Mengenai hukum atau kedudukan tentang sholat jamaahnya kaum wanita dimasjid bukan merupakan hal yang aneh, karena hal ini telah dicontohkan oleh kaum muslimin dari sejak lama, hal inipun tertulis dasar hukumnya dalam kitab-kitab salaf, diantaranya; 

بَابُ اسْتِئْذَانِ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا بِالْخُرُوْجِ إِلَى الْمَسْجِدِ حَدَّثَنَا عَنِ النَّبِيِّ ص م. قَالَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَمْنَعْهَا (صحيح البخارى فى الجزء الأول ص 211)
"Bab tentang meminta izinnya wanita kepada suaminya untuk pergi kemasjid. telah diriwayatkan dari Nabi saw. beliau bersabda; Apabila istrimu meminta izin (untuk pergi kemasjid), maka janganlah dilarang." 

قَالَ ابْنُ عُمَرَ قَالَ رَسُوْلُ الله ص م. لاَتَمْنَعُوْا النِّسَاءَ مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِاللَّيْلِ (صحيح مسلم فى الجزء الأول ص 187)
"Abdullah bin Umar berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu melarang perempuan keluar untuk pergi kemasjid pada waktu malam hari."
Adapun kebiasaan wanita sholat jum'at dimasjid merupakan hal yang aneh dinusantara ini, padahal belum diketemukan dalil tentang haramnya wanita sholat jum'at.
Dalam beberapa kitab salaf terdapat dalil tentang sahnya kaum wanita sholat jum'at dan tidak mengulang sholat dhuhurnya karena dhuhur itu sah dan sebagai pengganti dhuhur.

(وَمَنْ صَحَّتْ ظُهْرُهُ) مِمَّنْ لاَتَلْزَمُهُ اْلجُمْعَةُ كَالصَّبِيِّ وَاْلعَبْدِ وَالْمَرْأَةِ وَالْمُسَافِرِ بِخِلاَفِ الْمَجْنُوْنِ (صَحَّتْ جُمْعَتُهُ) ِلأَنَّهَا تَصِحُّ لِمَنْ تَلْزَمَهُ فَلِمَنْ لاَتَلْزَمَهُ أَوْلَى وَتُجْزِئُهُ عَنِ الظُّهْرِ (المحلى فى الجزء الأول ص 269)
"(Dan orang yang sah shalat dzuhurnya) diantara orang-orang yang tidak diwajibkan shalat jumat seperti anak kecil, hamba sahaya, perempuan, dan musafir dengan -dalam keadaan- tidak gila. (Maka sah shalat jumatnya) karena shalat jumat itu sah bagi orang yang tidak diwajibkan, dan shalat jumat itu cukup baginya sebagai pengganti shalat dzuhur." 

وَمَنْ لاَجُمْعَةَ عَلَيْهِ مُخَيَّرٌ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْجُمْعَةِ فَإِنْ صَلَّى الْجُمْعَةَ أَجْزَأَهُ عَنِ الظُّهْرِ (المهذب فى الجزء الأول ص 109)
"Dan barang siapa yang tidak kewajiban jumat diperintahkan untuk memilih diantara dzuhur dan jumat, maka jika ia telah bersembahyang jumat memadailah apa yang dilakukannya itu daripada dzuhur." 

10) Sholat jum'at kurang dari 40 orang
Dasar hukum dari sholat jum'at adalah ayat Al-qur'an surat Al-Jumu'ah ayat 9 yang berisi tentang perintah melaksanakan sholat jum'at, bahkan ditekankan untuk meninggalkan jual beli. Hal ini mengisyaratkan sangat wajibnya sholat jumat dalam keadaan sesibuk apapun.
Dengan demikian, bahwa sholat jum'at sangatlah penting. Dan apabila disyaratkan dalam melaksanakan sholat jum'at itu dengan tidak boleh kurang dari 40 orang, maka apabila ada suatu desa yang masanya kurang dari 40 orang dia tidak akan pernah melakukan perintah Allah yang satu ini, dan ini berarti bahwa Aturan Allah tidaklah fleksibel dan universal.
Dalam beberapa kitab fiqh terdapat kutipan pandangan para ulama mengenai jumlah jamaah shalat jum'at, yang didalamnya terdapat banyak pendapat. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak adanya aturan baku dari Rasul mengenai jumlah shalat jumat ini, karena apabila Rasul mensabdakan wajibnya jumat dengan 40 orang maka seluruh ulama pun pasti akan sependapat mengenai jumlah tersebut.

وَاشْتِرَاطُ وُقُوْعِهَا ِبهَذَا اْلعَدَدِ قَوْلٌ مِنْ أَرْبَعَةَ عَشَرَ قَوْلاً فِى الْعَدَدِ الَّذِى تَنْعَقِدُ بِهِ الْجُمْعَةُ ثَانِيْهَا أَنَّهَا تَصِحُّ مِنَ الْوَاحِدِ رَوَاهُ ابْنُ حَزْمٍ ثَالِثُهَا إِثْنَانِ كَالْجَمَاعَةِ وَهُوَ قَوْلُ النَّخَعِىِّ وَأَهْلِ الظَّاهِرِ رَابِعُهَا ثَلاَثَةٌ مَعَ اْلإِمَامِ عِنْدَ أَبِى حَنِيْفَةَ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِىُّ رَضِيَ الله عَنْهُمَا...الخ (إعانة الطالبين فى الجزء الثانى ص 57)
"Dan syarat didirikannya shalat jumat dengan bilangan ini (dengan 40 orang) merupakan satu qaul dari 14 qaul tentang bilangan jamaah yang menjadi sahnya jumat. Qaul yang kedua bahwa jumat sah didirikan oleh satu orang, qaul ini diriwayatkan oleh Ibn Hazm. Qaul yang ketiga (sah jumat) yang didirikan oleh dua orang seperti shalat berjamaah (selain hari jumat), dan itu merupakan qaul An-Nakhawi dan Ulama Ahli Dzahir. Qaul yang keempat bahwa sah (jumat) yang didirikan oleh tiga orang berikut imam, hal ini menurut Abu Hanifah dan Sufyan Saury." 

11) Sholat sunnah berjamaah
Kebolehan melaksanakan shalat sunnah secara berjamaah merupakan suatu hal yang sudah tidak aneh lagi, hal semacam ini sudah maklum dinegara kita ini seperti pelaksanaan shalat witir, taraweh, dll.

(مَسْئَلَةُ ب ك) تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ فِى نَحْوِ الْوِتْرِ وَالتَّسْبِيْحِ فَلاَ كَرَاهَةَ فِى ذَلِكَ (بغية المسترشدين ص 67)
"Diperbolehkan berjamaah dalam shalat witir dan shalat tasbih, demikian itu tidak dihukumi makruh."
Begitupun diterangkan pula tentang kebolehan melaksanakan sholat sunnah empat rokaat dalam satu salam.

وَقَالَ فِى صَلاَةِ اللَّيْلِ إِنْ شَاءَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا أَوْ سِتًّا اَوْ ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ وَبِالنَّهَارِ يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ أَرْبَعٍ (رحمة الأمة فى الجزء الأول ص 55)
"Dan ia berkata mengenai shalat malam, jika ia mau maka ia shalat dua rakaat, empat rakaat, enam rakaat, atau delapan rakaat dengan satu kali salam. Sedangkan diwaktu siang, ia salam dari setiap empat rakaat."
12) Jumlah dalam berdzikir
Mengenai jumlah dalam beberapa bacaan yang dibaca Syekhuna, jelas memiliki sir (rahasia). Semisal dengan bacaan tasbih, hamdalah, dan takbir yang dibaca ba'da maghrib dan shubuh hanya dibaca tiga kali sedangkan pada umumnya dibaca 33 kali. hal ini hanya syekhuna yang mengetahui maksud dan tujuannya. Mengenai pengurangan jumlah bacaan dzikir tersebut, terdapat kutipan kalimat dari sebuah kitab salaf sebagai berikut; 

(تَنْبِيْه) اَنَّهُ وَرَدَ فِى رِوَايَاتٍ النَّقْصُ عَنْ ذَلِكَ اْلعَدَدِ وَالزِّيَادَةِ عَلَيْهِ كَخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ وَاِحْدَى عَشَرَةَ وَثَلاَثٍ وَمَرَّةٍ وَسَبْعِيْنَ وَمِائَةٍ فِى التَّسْبِيْحِ (التحفة فى الجزء الأول ص 277)
"(peringatan) Sesungguhnya ada riwayat tentang pengurangan dan penambahan jumlah tersebut, seperti 5, 20, 11, 3, 1, 70, dan 100 kali dalam membaca tasbih."


BUKU ASWAJA BAB 2; KESESUAIAN TUNTUNAN SYEKHUNA DENGAN SUNNAH RASUL

Sumber:  ShelOn (Sempurna Alon-Alon)
KESESUAIAN TUNTUNAN SYEKHUNA DENGAN SUNNAH RASUL


Seperti yang telah dipaparkan dalam bagian pertama bahwa tuntunan syekhuna merupakan tuntunan peribadatan yang berdasarkan pada sunnah Rasul dan amalan para salafus shalih, maka pada bagian ini akan dipaparkan sedikit argumentasi atas amalan-amalan yang dikerjakan oleh jamaah Asy-syahadatain.
Dalam kaitannya terhadap tatacara berpakaian dalam sholat dan beribadah, syekhuna menuntun santrinya untuk selalu berpakaian yang serba putih. Bahkan pakaian yang digunakannya adalah bernuansa arab yaitu jubah, sorban, dll. yang menurut halayak umum itu adalah budaya arab. Namun pada hakekatnya pakaian seperti itulah yang digunakan Rasulullah saw., dan segala sesuatu yang dilakukan Rasul adalah sunnah.

1. Keutamaan pakaian putih
Segala sesuatu yang dilakukan Rasulullah saw. adalah sebuah wahyu dan interpretasi dari Al-quran, dan bukan hanya budaya dan tradisi semata. Demikian pula dengan pakaian sholat yang beliau pakai, bukan hanya sebatas budaya arab belaka, melainkan suatu perintah dari Allah swt.
Hal ini dapat kita tinjau dari satu ayat Al-quran surat Al A’rof ayat 31 Yang berbunyi

يَا بَنِى آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
 ......
“Wahai anak cucu adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid…..." (imam ibnu Abbas menjelaskan bahwa pakaian yang bagus adalah yang berwarna putih)
Ayat tersebut merupakan ayat anjuran berhias dengan berpakaian yang bagus dan pantas ketika hendak memasuki masjid (sholat/beribadah). Sedangkan pakaian yang dipakai oleh Rasul adalah berupa Jubbah, Imamah/sorban, Kufiyah, dll. Hal ini bukanlah hanya sebatas budaya arab yang setiap hari digunakannya. Penafsiran ayat tersebut sebagai berikut;

يَا بَنِى آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ. وَلِهَذِهِ اْلآيَةِ وَمَا وَرَدَ فِى مَعْنَاهَا مِنَ السُّنَّةِ يُسْتَحَبُّ التَّجَمُّلُ عِنْدَ الصَّلاَةِ وَلاَسِيَمَا يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَيَوْمَ اْلعِيْدِ وَالطِّيْبُ ِلأَنَّهُ مِنَ الزِّيْنَةِ وَالسِّوَاكُ ِلأَنَّهُ مِنْ تَمَامِ ذَاِلكَ وَمِنْ أَفْضَلِ اللِّبَاسِ اَلْبَيَاضُ كَمَا قَالَ رَسُوْلَ الله ص م. إِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ
 “(Wahai anak cucu adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan). dan dari ayat ini mengandung makna tentang kesunnahan berhias ketika hendak melakukan sholat, apalagi ketika hendak melakukan sholat jumat dan sholat id. Disamping berhias, hendaknya seseorang memakai wewangian karena memakai wewangian itu bagian dari berhias, begitu juga dengan bersiwak (gosok gigi) karena bersiwak adalah penyempurna dalam berhias. Dan berhias yang lebih utama ialah dengan memakai pakaian yang berwarna putih. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Pakailah pakaianmu yang berwrna putih karena pakaian putih itu sebaik-baik pakaianmu dan kafanilah orang-orang matimu dengannya (kain kafan yang putih).”

Terdapat pula beberapa hadits yang menjelaskan tentang tatacara berpakaian, khususnya dalam beribadah (yaitu memakai pakaian yang berwarna putih). Yaitu;

(قَوْلَهُ وَأَفْضَلُهَا اْلأَبْيَضُ) أَىْ أَفْضَلُ الثِّيَابِ َاْلأَبْيَضُ لِخَبَرِ التِّرْمِيْذِى " إِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ " وَيُسَنُّ أَنْ تَكُوْنَ جَدِيْدَةً فَإِنْ لَمْ تَكُنْ جَدِيْدَةً فَقَرِيْبَةٌ مِنْهَا وَيُسَنُّ أَنْ يَزِيْدَ اْلإِمَامُ فىِ حُسْنِ الْهَيْئَةُ ِللإِتْبَاعِ وَلأَنَّهُ مَنْظُوْرٌ إِلَيْهِ وَاْلأَكْمَلُ أَنْ تَكُوْنَ ثِيَابُهُ كُلُّهَا حَتَّى اْلعِمَامَةُ بَيْضَاءَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ كُلُّهَا فَأَعْلاَهَا وَيُطْلَبُ ذَالِكَ حَتىَّ فِى غَيْرِ يَوْمِ الْجُمْعَةِ لإِطْلاَقِ الْخَبَرِ الْمَذْكُوْرِ
 “Dikatakan bahwa pakaian yang paling utama adalah pakaian putih, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih karena pakaian putih itu sebaik-baik pakaianmu dan kafanilah orang-orang matimu dengannya (kain kafan yang putih)” dan disunnahkan yang baru apabila ada, namun apabila tidak ada yang baru maka yang paling baru (bagus) diantara yang lainnya. Dan disunnahkan bagi imam untuk menyempurnakan keadaannya, karena dia diikuti dan menjadi pusat perhatian. Dan yang lebih sempurna adalah hendaknya seseorang memakai pakaian yang berwarna putih semua sampai sorbannyapun berwarna putih, maka apabila tidak ada yang putih kesemuanya, maka hendaknya bagian atas diusahakan (untuk berwarna putih), dan dianjurkan memakai pakaian putih sehingga pada hari selain hari jumat sekalipun, karena mutlaknya hadits yang telah disebut."

Senada dengan bunyi hadits tersebut diatas dikemukakan pula dalam kitab-kitab lainnya seperti kitab Minhajul Qowim hal.88, Maroqil Ubudiyah hal.54, Mawahibus somad hal. 60. Bulughul Marom hal. 63, Nihayatuz Zain hal. 142, Al Iqna juz I hal. 159, Al-Minhajut Tullab hal. 78, Fathul Wahab Juz I hal. 78, Hasiyah Qolyubi Juz I hal. 383, Fiqhus Sunnah Juz I hal. 436, dll.
Mengenai keutamaan pakaian putih ini telah banyak dikemukakan pula oleh banyak ulama dalam kitab-kitabnya, seperti berikut;

وَأَفْضَلُ الثِّيَابِ اَلْبَيَاضُ لِمَا رَوَى سَمُرَةُ بْنُ جُنْدَبٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ص م. إِلْبَسُوْا الثِّيَابَ اْلبِيْضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ. وَيُسْتَحَبُّ ِللإِمَامِ مِنَ الزِّيْنَةِ أَكْثَرُ مِمَّا يُسْتَحَبُّ لِغَيْرِهِ ِلأَنَّهُ يُقْتَدَى بِهِ وَاْلأَفْضَلُ أَنْ يَتَعَمَّمَ وَيَرْتَدِيَ بِبُرْدٍ ِلأَنَّ النَّبِيَّ ص م. كَانَ يَفْعَلُ ذَالِكَ
 "Pakaian yang paling utama adalah yang berwarna putih, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh samuroh bin jundab bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: 'Pakailah pakaian yang berwarna putih, karena pakaian putih itu lebih (terjaga) kesuciannya serta lebih baik'. Dan disunnahkan bagi imam untuk lebih menghias diri daripada yang lainnya (makmum), karena dia (imam) diikuti orang. Dan akan lebih afdhol lagi apabila memakai sorban dan rida, karena sesungguhnya nabi memakainya (melakukannya)."
Senada dengan bunyi hadits tersebut diatas dikemukakan pula dalam kitab-kitab lainnya seperti kitab Syama'ilul Muhammadiyah hal.69 dan 75, Riyadus Sholihin hal 366, Sunan Ibnu Majjah hadits ke 3567, dll.
Mengenai keutamaan pakaian putih tersebut banyak dikemukakan oleh para ulama didalam kitab-kitabnya, karena hal itu merupakan bagian dari ajaran islam. Seperti yang dikemukakan oleh para ulama dalam kitab-kitabnya sebagai berikut;

وَهَيْئَاتُهَا أَرْبَعُ خِصَالٍ اَلْغُسْلُ وَتَنْظِيْفُ الْجَسَدِ وَلُبْسُ الثِّيَابِ اْلبِيْضِ وَأَخْذُ الظُّفْرِ وَالطِّيْبُ
 “Sunnah hai’at sebelum melaksanakan shalat jum’at ada empat perkara, yaitu; Mandi, membersihkan badan, memakai pakaian yang putih, memotong kuku dan memakai wewangian."

عَلَيْكُمْ بِاْلبَيَاضِ مِنَ الثِّيَابِ فَيَلْبَسُهَا أَحْيَاؤُكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ
 "Hendaklah kamu memakai pakaianmu yang berwarna putih, maka pakailah selama hidupmu dan kafanilah orang-orang matimu dengan yang berwarna putih, maka sesungguhnya pakaian/ kain yang berwarna putih itu sebaik-baiknya pakaianmu."

 (وَ) الثَّالِثُ (لُبْسُ الثِّيَابِ اْلبِيْضِ) فَإِنَّهَا أَفْضَلُ الثِّيَابِ
 “Dan yang ketiga adalah memakai pakaian yang berwarna putih, karena pakaian putih itu pakaian yang paling utama”

(وَالثَّالِثُ لُبْسُ) أَحْسَنِ ثِيَابِهِ مِنَ اْلأَبْيَضِ وَاْلأَخْضَرِ ِلأَنَّهُمَا مِنْ لِبَاسِ رَسُوْلِ اللهِ ص م. وَاْلأَوْلَى لُبْسُ (الثِّيَابِ اْلبِيْضِ فَإِنَّهَا أَفْضَلُ الثِّيَابِ) وَبَعْدَهَا اْلأَخْضَرُ فِى كُلِّ زَمَنٍ حَيْثُ لاَ عُذْرَ

“Dan yang ketiga adalah memakai sebaik-baiknya pakaian, yaitu yang berwarna putih dan hijau. Karena keduanya adalah pakaian Rasulullah saw. dan yang lebih utama dari keduanya adalah putih. Karena pakaian yang berwarna putih itu paling utamanya pakaian, dan setelahnya adalah pakaian yang berwarna hijau. Dan ini berlaku untuk setiap zaman selama tidak ada udzur (halangan)."

وَيَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَأَفْضَلُهَا اْلبِيْضُ
 “Dan seseorang hendaknya memakai sebaik-baik pakaiannya, dan yang paling utama adalah yang berwarna putih”

(وَلُبْسُ الثِّيَابِ الْبِيْضِ) بِأَنْ تَكُوْنَ ثِيَابُهُ كُلُّهَا بَيْضَاءَ وَاْلأَعْلَى مِنْهَا آكَدُ
 “(Dan memakai pakaian putih) bahkan apabila ada, yang berwarna putih semuanya. Dan bagian atas putih itu hendaklah lebih didahulukan karena lebih Mu’akkad (sunnah yang sangat dianjurkan)”

ثُمَّ تَزَيَّنَ بِالثِّيَابِ اْلبِيْضِ فَإِنَّهَا أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى الله تعالى
 “Kemudian berhiaslah dengan pakaianmu yang berwarna putih, karena pakaian putih itu paling disenangi oleh Allah swt.”

2. Keutamaan Qamis, Jubbah, Sorban
Jubbah, sorban, dll. merupakan pakaian yang telah dianjurkan oleh Rasulallah saw. seperti yang dijelaskan oleh para ulama dalam beberapa kitabnya sebagai berikut;

وَيُسَنُّ لِلْمُصَلِّى أَنْ يَلْبَسَ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَيَرْتَدِيَ وَيَتَعَمَّمَ وَيَتَقَمَّصَ وَيَتَطَيْلَسَ وَلَوْ كَانَ عِنْدَهُ ثَوْبَانِ فَقَطْ لَبِسَ أَحَدَهُمَا وَارْتَدَى بِاْلآخَرِ إِنْ كَانَ
 “…. Dan disunnahkan bagi seseorang yang hendak melaksanakan sholat, agar memakai pakaian yang paling baik (yang ia miliki) dan hendaknya ia memakai rida, sorban, gamis, thailasan, dan apabila ia hanya memiliki dua macam saja, maka pakailah salah satu dari keduanya dan menjadikan rida dengan yang lainnya, itupun jika ada pakaian.”

(مَسْئَلَةٌ) يُسَنُّ لُبْسُ الْقَمِيْصِ وَاْلإِزَارِ وَاْلعِمَامَةِ وَالطَّيْلَسَانِ فِى الصَّلاَةِ وَغَيْرِهَا إِلاَّ فِى حَالِ النَّوْمِ وَنَحْوِهِ يُخْتَصُّ الطَّيْلَسَانُ غَالِبًا بِأَهْلِ اْلفَضْلِ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ
 "Disunnahkan memakai Qamis, sarung, sorban, dan thailasan diwaktu sholat atau diluar sholat kecuali diwaktu tidur dan sebagainya, akan tetapi thailasan itu khusus bagi orang-orang mulia dari kalangan ulama dan pemimpin."

(سَتْرُ الْعَوْرَةِ) ... وَأَوْلَى السَّتْرِ الْقَمِيْصُ مَعَ السَّرَاوِيْلِ ثُمَّ اْلقَمِيْصُ مَعَ اْلإِزَارِ ثُمَّ الرِّدَاءُ
 “(Menutup Aurot) dan penutup aurot yang paling utama adalah Gamis dengan celana atau Gamis dengan sarung, kemudian ditambah rida."

وَلِرَجُلٍ أَحْسَنُ ثِيَابِهِ وَيَتَقَمَّصُ وَيَتَعَمَّمَ فَإِنِ اقْتَصَرَ فَثَوْبَانِ قَمِيْصٌ مَعَهُ رِدَاءٌ
 "Hendaklah bagi laki-laki agar memakai sebaik-baik pakaiannya dan hendaklah ia memakai qamis (jubah), sorban, dan apabila ingin membatasi maka cukuplah memakai dua pakaian yaitu qamis dengan rida"

كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ مِنَ الثِّيَابِ مَاوَجَدَ مِنْ إِزَارٍ أَوْ رِدَاءٍ أَوْ قَمِيْصٍ أَوْ جُبَّةٍ أَوْ غَيْرِ ذَاِلكَ وَكَانَ يُعْجِبُهُ الْخُضْرُ وَكَانَ أَكْثَرُ لِبَاسِهِ اْلبَيَاضَ وَيَقُوْلُ إِلْبَسُوْهَا أَحْيَاؤُكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ
 "Rasulullah saw memakai pakaian yang beliau miliki, yaitu sarung, rida, gamis, jubah, atau yang lainnya. Dan Nabi menyukai pakaian yang berwarna hijau, tetapi pakaian yang paling sering dipakai Rasulullah adalah pakaian yang berwarna putih. Dan beliau bersabda: Pakailah olehmu pakaian yang berwarna putih semasa hidupmu dan kafanilah orang-orang matimu dengan yang berwarna putih."

Tentang memakai sorban terdapat beberapa pandangan para ulama sebagai berikut;

(وَقَالَ صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَانِ بِعِمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِلاَ عِمَامَةٍ) رَوَاهُ الدَّيْلَمِى عَنْ جَابِرٍ قَالَ الْمُنَاوِىُّ ِلأَنَّ الصَّلاَةَ حَضْرَةُ الْمَلِكِ وَالدُّخُوْلُ إِلَى حَضْرَةِ الْمَلِكِ بِغَيْرِ تَجَمُّلٍ خِلاَفُ اْلأَدَبِ
 Rasulallah saw bersabda: “Dua rokaat dengan memakai sorban lebih baik dari 70 rokaat tanpa memakai sorban”(HR. Dzailami dari Jabir). Dan Imam Al-Munawi berkata: karena sholat itu menghadap maharaja (Allah swt), dan sangat tidak beradab apabila seseorang ingin menghadap maharaja (Allah swt) kemudian ia tidak berhias.

قال صلى الله عليه وسلم: تَعَمَّمُوا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَعَمَّمَتْ
"Bersorbanlah kalian karena sesungguhnya para malaikat itu memakai sorban"

وَكَانَ دَائِمًا يَلْبَسُ رَسُوْلُ الله ص م. اللِّبَاسَ اْلأَبْيَضَ وَاْلعَمَائِمَ اْلبَيْضَاءَ إِلاَّ فِى مَرَّاتٍ قَلِيْلَةٍ لَبِسَ اْلعِمَامَةَ السَّوْدَاءَ مِثْلَ فَتْحِ مَكَّةَ
 "Bahwa Rasulullah saw selalu memakai pakaian yang berwarna putih dan sorban putih, kecuali sesekali Rasulullah saw. pernah memakai sorban warna hitam seperti pada waktu Fathu Makkah (penaklukan kota makkah)."

حَدَّثَنَا هَارُوْنُ بْنُ إِسْحَاقَ الْهَمَدَانِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُبَيْدِ الله بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عليه وسلم إِذَا اعْتَمَّ سَدَلَ عِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ, قَالَ نَافِعٌ : وَكاَنَ ابْنُ عُمَرَ يَسْدِلُ عِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ قَالَ عُبَيْدُ الله رَأَيْتُ الْقَاسِمَ وَسَالِماً يَفْعَلاَنِ ذَالِكَ. قَالَ اَبُو عِيْسَى هَذاَ حَسَنٌ غَرِيْبٌ
Diriwayatkan dari Harun bin Ishak Al-Hamdani, dari Yahya bin Muhammad al Madani bin Muhamad, dari Ibnu Umar dari Nafi’ ia berkata, adalah Nabi SAW apabila beliau memakai sorban, maka beliau meletakkan sorbannya diantara dua belikatnya. Nafi’ berkata: Ibn Umar juga meletakkan sorbannya diantara dua belikatnya. Ubaidillah berkata: aku melihat Qosim dan Salim melakukan seperti itu dan menurut Abu Isa, hadits ini adalah hadits Hasan Gharib.
Hadits senadapun terdapat dalam kitab Syamailul Muhammadiyah hal. 107 dan kitab Qutuf minas Syama’il hal. 97.


Dalam kitab Sunan Abi Dawud hadits ke 4078 terdapat hadits tentang Kopyah sebagai berikut;

قَالَ رُكَانَةُ وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: فَرْقُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُشْرِكِيْنَ الْعَمَائِمُ عَلَى اْلقَلاَنِسِ
 "Sahabat Rukanah berkata: saya mendengar nabi saw bersabda: pembeda diantara kita dan orang-orang musyrik adalah sorban yang terletak diatas kopyah"
Mengenai pakaian putih dan sorban, jubah, dll., yang dipakai oleh jamaah Asy-Syahadatain ini banyak yang mengatakan su'ul adab, dengan alasan bahwa pakaian tersebut adalah pakaiannya para ulama.
Setelah menelusuri sumber-sumber hadits dan qaul ulama, tidak diketemukannya hadits atau ucapan para salaf yang mengatakan bahwa berpakaian demikian itu dilarang bagi kebanyakan ummat, bahkan yang kami temukan adalah perintah untuk memakainya, karena pakaian yang demikian itu adalah sunnah Rasul (pakaian yang dipakai rasul). Oleh sebab itu dianjurkan para umat islam untuk memakainya karena Rasulpun memakainya, sehingga orang-orang yang memakainya dengan tujuan mengikuti Rasul maka ia akan mendapatkan keutamaan dari Allah.

3. Hukum memakai pakaian yang berwarna hitam
Dalam beberapa kitab salaf dijelaskan tentang hukum memakai pakaian yang berwarna hitam, ada yang berpendapat Makruh, Khilaful aula dan ada yang berpendapat bid’ah.

مَنْ نَظُفَ ثَوْبُهُ قَلَّ هَمُّهُ وَمَنْ طَابَ رِيْحُهُ زَادَ عَقْلُهُ وَأَمَّا اْلكِسْوَةُ فَأَحَبُّهَا الْبَيَاضُ مِنَ الثِّيَابِ إِذْ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى الله تَعَالَى اْلبِيْضُ لاَيَلْبَسُ مَا فِيْهِ شُهْرَةٌ وَلُبْسُ السَّوَادِ لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ وَلاَفِيْهِ فَضْلٌ بَلْ كَرَّهَ جَمَاعَةٌ النَّظْرَ إِلَيْهِ ِلأَنَّهُ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ بَعْدَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم
 "Barang siapa bersih pakaiannya maka sedikit susahnya, dan barangsiapa wangi baunya maka bertambah akalnya. Dan adapun pakaian yang lebih dicintai adalah pakaian yang berwarna putih, karena pakaian yang lebih dicintai Allah adalah yang berwarna putih, yang tidak dipakai karena mengandung keinginan ketenaran (Riya). Dan adapun memakai pakaian berwarna hitam itu tidak termasuk sunnah dan tidak pula mengandung keutamaan, bahkan ada satu golongan ulama yang menghukumi makruh melihatnya karena memakai pakaian berwarna hitam itu perbuatan bid’ah yang terjadi setelah sepeninggalan rasul saw."

وَفِى مَوْضِعِ مِنَ اْلإِحْيَاءِ يُكْرَهُ السِّوَادُ أَىْ خِلاَفُ اْلأَوْلَى وَقَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّيْنِ إِدَامَةُ لُبْسِهِ بِدْعَةٌ وَقَضِيَّتُهُ أَنْ لاَبِدْعَةَ فِى غَيْرِ إِدَامَتِهِ ِللأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ بِلُبْسِهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم لَهُ فِى مَوَاضِعَ عَدِيْدَةٍ لَكِنْ لاَيُنَافِى ذَالِكَ أَفْضَلِيَةُ اْلبَيَاضِ
“Dalam kitab ihya terdapat keterangan tentang makruhnya memakai pakaian berwarna hitam, Dan Syekh Izuddin mengatakan bahwa: apabila terus menerus memakai pakaian berwarna hitam maka hukumnya bid’ah, tetapi kalau tidak terus menerus maka tidak bid’ah; karena ada hadis yang menerangkan bahwa Rasulallah saw pernah memakainya (memakai pakaian hitam) dalam beberapa waktu, tetapi itu semua tidak menghilangkan/ menafikan keutamaan warna putih.

إِدَامَةُ لُبْسِ السَّوَادِ وَلَوْ فِى النِّعَالِ خِلاَفُ اْلأَوْلَى
"Memakai yang berwarna hitam secara terus menerus itu hukumnya Khilaful Aula (kurang baik) walaupun dalam masalah sandal" (apalagi dengan pakaian sholat)
Dengan demikian, jelaslah bahwa Tuntunan Syekhuna yang membina ummat dengan berpakaian Jubbah, Sorban, Rida, kufiyah, Sajadah, dan Sarung yang serba putih disaat beribadah merupakan Sunnah Rasulullah saw.

Dalam kaitannya terhadap tatacara berdzikir atau berdo’a, syekhuna menuntun beberapa cara berdzikir sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. karena hanya orang-orang yang dekat dengan Allahlah yang bahagia didunia dan akherat. Didalam Al-quran terdapat banyak perintah untuk berdzikir, diantaranya yaitu

وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Banyak-banyaklah kalian mengingat Allah supaya kamu mendapat kemenangan.” (Qs. Al Jumu’ah: 10)

يَااَيُّهَا اَّلذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak.” (Qs. Al-Ahzab: 41)

Rasulullah saw bersabda: 
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ, وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِكِكُمْ وَأَرْفَعُهَا فِى دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَاْلوَرِقِ وَأَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوْا: مَاذَاكَ يَارَسُوْلَ الله؟ قَالَ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى
“Tidakkah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baik amal kalian, yang paling suci disisi Tuhan kalian, yang paling metinggikan derajat kalian, dan yang lebih baik daripada memberikan emas dan perak. Dan daripada kalian bertemu musuh-musuh kalian, maka kalian memukul tengkuk mereka dan merekapun (ganti) memukul tengkuk kalian.” Para sahabat bertanya; “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab; “Zikrullah” (HR. Al Baihaqy).

Dalam Tuntunannya (Tuntunan Syekhuna), Syekhuna mencontohkan tatacara beribadah dengan banyak berdzikir kepada Allah swt, karena dengan dzikrullah secara rutin/istiqomah, maka akan mengantarkan kita untuk selalu dekat dengan Allah swt., dan orang yang dekat dengan Allah akan mendapatkan kebahagiaan didunia dan akherat. Dan Inti/pokok utama dari tuntunan Syekhuna adalah Dzikir/ hidupnya hati beristiqomah dalam mengingat Allah.
Mudzakaroh atau berdzikir adalah proses pertama dalam menempuh Ma'rifat Billah, yaitu menetapkan Lafadz Allah didalam hati dalam segala tingkahnya. Terdapat sebuah hadits dalam Sunan At-Tirmidzi pada bab fitnah. Yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik.

لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيُقَالُ فِى اْلاَرْضِ اَلله اَلله
"Kiamat tidak akan terjadi sampai dibumi ini hingga tidak ada yang mengucapkan Allah Allah."

لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ وَعَلَى وَجْهِ اْلاَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اَلله اَلله
"Kiamat tidak akan terjadi sedangkan dimuka bumi ini masih ada yang mengucapkan Allah Allah." 

فَاشْتَغِلْ بِذِكْرِ خَالِقِكَ أَىْ ذِكْرٌ مِنَ اْلأَذْكَارِ وَأَعْلاَهَا هُوَ قَوْلُكَ اَلله اَلله اَلله لاَتَزِيْدُ عَلَيْهِ شَيْئًا
"Maka Sibukkanlah kalian dengan mengingat Tuhan yang menciptakan kalian, yaitu dzikir dari banyak dzikir, dan yang lebih utama adalah ucapanmu `Allah` (didalam hati) dengan tidak menambahi sesuatu daripadanya."
Hadits tersebut mengisyaratkan dzikir didalam hati yaitu berupa lafadz Allah. Dzikir ada dua macam, yaitu dzikir lisan dan dzikir hati. Dzikir lisan bagi seorang hamba akan mengantarkannya pada kelanggengan dzikir hati. Dzikir lisan ini sangat berpengaruh pada dzikir hati, apabila lisannya berdzikir bersamaan dengan dzikirnya hati, maka ia telah memasuki tahapan Mudzakarah yang sempurna.
Mengenai konsep dzikir dalam Tuntunan Syekhuna akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Dalam Tuntunan Syekhuna terdapat beberapa cara dalam kaitannya dengan jenazah setelah dikuburkan, yaitu Talkin, Tahlil, Solat Hadiyah, dll.
Talkin
Talkin adalah mengajarkan orang yang telah mati untuk menjawab pertanyaan malaikat munkar nakir dengan membaca dua kalimat syahadat. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw. sebagai berikut:

وَقَالَ ص م: يَا اَبَا هُرَيْرَةَ لَقِّنِ الْمَوْتَى شَهَادَةَ أَنْ لاَاِلَهَ إِلاَّ الله فَإِنَّهَا تَهْدِمُ الذُّنُوْبَ هَدْمًا. قُلْتُ: يَارَسُوْلَ الله هَذَا لِلْمَوْتَى وَكَيْفَ لِلأَحْيَاءِ؟ قَالَ ص م: هِيَ أَهْدَمُ وَأَهْدَمُ.
“Rasulullah saw. bersabda: “Hai Abu Hurairah, Ajarkanlah orang yang telah meninggal dengan Syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah, karena syahadat itu melebur dosa dengan selebur-leburnya (hancur)” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, ini untuk orang yang telah mati, lalu bagaimana untuk orang yang masih hidup?” Rasulullah menjawab: “Syahadat itu lebih menghancur leburkan dan menghancurkan."
Hadits tersebut memaparkan tentang manfaat syahadat yaitu menghancurkan dosa bagi orang yang telah mati dan bagi orang yang masih hidup. Oleh karenanya diperintahkan untuk mentalkin mayit dengan cara menuntunnya setelah dikuburkan, dan juga mentalkin syahadat bagi orang hidup dengan cara mengajarkannya, yaitu dengan membacanya secara istiqomah, sehingga didalam kubur kelak akan diajarkan oleh Allah swt. Hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Abbas sebagai berikut:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : مَنْ دَاوَمَ عَلَى الشَّهَادَةِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا يُثَبِّتُهُ اللهُ عَلَيْهَا فِى قَبْرِهِ وَيُلَقِّنُهُ إِيَّاهَا
“Ibnu Abbas RA berkata: Barangsiapa mendawamkan syahadat selama hidup didunia, maka Allah swt akan menetapkan syahadat itu kepadanya didalam kubur."
Dalam penerapannya, syekhuna menuntun mayit untuk membaca dua kalimat syahadat sebagai jawaban dari pertanyaan Munkar Nakir. Hal inipun terdapat sebuah dalil yang menguatkannya yaitu tertulis dalam kitab talkin yang biasa digunakan oleh kaum muslimin. Yaitu yang berbunyi

اُذْكُرِ اْلعَهْدَ الَّذِى خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنْ دَارِ الدُّنْيَا إِلَى دَارِ اْلآخِرَةِ وَهِىَ شَهَادَةُ أَنْ لاَاِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ingatlah akan perjanjian ketika engkau keluar dari dunia keakhirat, ialah mengenai syahadat (persaksian) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah.”

فَمِنْ ذَلِكَ حَدِيْثُ أَبِى نُعَيْم أَنَّهُ ص م. قَالَ أُحْضُرُوْا مَوْتَاكُمْ وَلَقِّنُوْهُمْ لاَإِلَهَ إِلاَّ الله وَبَشِّرُوْهُمْ بِالْجَنَّةِ (الفتاوى الحديثية ص 20)
"Maka sebagian dari itu sebuah hadits dari Abi Nuaim bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Hadirilah orang-orang matimu dan ajarilah (talkinlah) mereka bahwa Tiada tuhan selain Allah, dan bahagiakanlah mereka dengan surga".
Dalam prakteknya, para Jama’ah Asy-syahadatain menggunakan buku talkin dengan cara merubah teks dalam buku tersebut seperti berikut ini;

فَإِذَا جَاءَكَ الْمَلَكَانِ الْمُوَكَّلاَنِ بِكَ وَهُمَا مُنْكَرٌ وَنَكِيْرٌ فَلاَ يُفْزِعَاكَ وَلاَ يُرْهِبَاكَ فَإِنَّهُمَا خَلْقٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا سَأَلاَكَ مَنْ رَّبُّكَ وَمَنْ نَبِيُّكَ وَمَادِيْنُكَ وَمَاقِبْلَتُكَ وَمَا إِمَامُكَ وَمَنْ إِخْوَانُكَ فَقُلْ
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ الاَّ الله , وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ , اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ 2 x
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ الاَّ الله , وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ , اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعَلى الِه وَصَحْبِه وَسَلِّمْ
Syahadat tersebut dibaca secara bersama-sama, dengan tujuan membantu mayit mengukuhkan imannya. Hanya dengan jawaban syahadat tersebut, telah cukup untuk menjawab semua pertanyaan tersebut. Karena dengan mengucapkan dua kalimat syahadat diatas menyimpan makna bahwa “tuhan saya Allah, nabi saya Muhammad saw., agama saya islam, qiblat saya ka’bah, pedoman saya Al-qur’an, guru saya Abah Umar, dan teman saya adalah orang-orang yang beriman”.

Dari sinilah sering timbul pertanyaan: Apakah si mayit dapat mendengar ketika ditalqin? Jawabannya yaitu dapat mendengar, sebab pada hakekatnya mayit dalam kubur itu dalam keadaan hidup ruhnya, dia masih dapat berbuat apa saja sebagaimana perbuatan orang yang masih hidup, yakni dapat berkata, dapat mendengar dan sebagainya hanya saja sebagaimana perbuatan si mayit dalam kuburan tidak dapat dinisbatkan dengan ukuran akal orang yang hidup didunia. Penjelasan ini sejalan dengan hadits Bukhari dan muslim, bahwasanya nabi bersabda :

اِنَّ الْعَبْدَ اِذَا وُضِعَ فِى قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ اَصْحَابُهُ اَنَّهُ يَسْمَعُ خَفْقَ قَرْعِ نِعَالِهِمْ.
“Ketika (mayit) seorang hamba diletakkan dikuburannya dan para pengiring (jenazah) telah berpaling dari kuburannya itu, maka sesungguhnya si mayit tersebut dapat mendengar suara goseran sepatu (sandal) mereka (yang mengiring)."

Berdasarkan bunyi hadits ini, terang sekali bahwa si mayit yang berada didalam kuburan masih dapat berbuat sebagaimana yang masih hidup, yakni mendengar suara goseran alas kaki (sandal, sepatu) mereka yang mengiring jenazah. Demikian pula halnya dalam kaitannya dengan pentalqinan atas si mayit tersebut, kiranya sudah jelas bahwa si mayit dapat mendengarkan bacaan syahadat pentalqin.
Tahlil
Tahlil adalah istilah/sebutan bagi kumpulan bacaan yang dikhususkan untuk dikirimkan pahalanya kepada mayit.
Tahlil merupakan salah satu dari beberapa masalah khilafiyah, maka sebenarnya tidak patut untuk dijadikan pembicaraan ramai (dipertentangkan) dan dipercekcokkan. Demikian pula tidak selayaknya terjadi percekcokan diantara kedua belah pihak yang bersikap menerima dan menolak terhadap sesuatu yang tidak seharusnya terjadi diantara dua saudara Islam, meskipun pihak penolak mempunyai pegangan dan pihak yang lainnya (yakni pihak yang menerima) juga mempunyai pegangan.
Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa : si mayit itu dapat memperoleh manfaat bacaan Al-qur’an sebagaimana ia memperoleh manfaat ibadah harta yaitu shadaqah dan yang sepadannya. Didalam kitab Ar-Ruh ibnul Qayyim juga berpendapat bahwa: Sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayit yaitu shadaqah, istigfar, mendoakan dan menghajikannya. Adapun membaca Al-qur’an dan menghadiahkan bacaannya kepada si mayit dengan tujuan karena Allah, tanpa dibayarkan si pembaca (tanpa meminta upah), maka pemberian hadiah ini dapat sampai kepada mayit sebagaimana pahala puasa dan haji (dapat sampai kepadanya). Selanjutnya ditempat lain dalam kitabnya, beliau berkata bahwa yang lebih utama yaitu adanya niat ketika mengerjakan amalan bacaan dimana bacaannya itu diperuntukkan si mayit, tetapi tidak disyaratkan niat tersebut harus dilafalkan.
Asy-Syekh Hasanain Muhammad Makhluf berkata: bahwa para Ulama Hanafiyah telah berpendapat: Sesungguhnya tiap-tiap orang yang beribadah, baik berupa shodaqah atau bacaan Al-qur’an atau selain daripada itu yang berupa segala macam kebaikan, maka baginya boleh memberikan pahala ibadah tersebut kepada orang lain dan ini akan dapat sampai kepadanya.
Di dalam kitab Fat-hul Qadir ada suatu riwayat yang diceritakan dari Shahabat Ali Karamallahu Wajhah dari Nabi Saw, beliau bersabda :

رُوِىَ عَنْ عَلِىٍّ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "مَنْ مَرَّ عَلَى اْلمَقَابِرِ وَقَرَأَ (قُلْ هُوَ اﷲُ اَحَدٌ) اِحْدَى عَشْرَةَ ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلأَمْوَاتِ أُعْطِىَ مِنَ اْلأَجْرِ بِعَـدَدِ اْلأَمْوَاتِ".
“Barang siapa yang melewati diatas kuburan-kuburan dan membaca: ”Qul Huwallahu Ahad” sebanyak sebelas kali, kemudian memberikan pahalanya kepada segenap orang yang mati, maka dia akan diberi pahala sebanyak jumlah orang-orang yang mati itu.”
Hadis Nabi ini menunjukkan, bahwa pahala bacaan Al-qur’an pada hakekatnya dapat sampai kepada si mayit ketika bacaan itu dihadiahkan kepadanya. Demikian pula orang yang membaca surat Al-Ikhlas sebelas kali yang pahalanya diberikan kepada segenap orang Islam yang sudah mati, maka orang tersebut. diberi pahala sebanyak hitungan orang yang sudah mati itu.
Dalam hadis lain diceritakan dari Shahabat Anas, bahwa Nabi Saw pernah ditanya :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ ص م سُئِلَ فَقَالَ السَّائِلُ يَارَسُوْلَ اﷲِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوْتَانَا وَنَحُجُّ عَنْهُمْ وَنَدْعُوَ لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذلِكَ إِلَيْهِمْ؟ قَالَ: نَعَمْ, إِنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَأَنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِه كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالطَّبْقِ إِذَا أُهْدِىَ اِلَيْهِ. اﻫ
“Wahai Rasul, Bahwasanya aku pernah bersedekah untuk orang-orangku yang sudah mati, menghajikan mereka dan mendoakannya. Apakah semuanya itu dapat sampai kepada mereka?
Nabi menjawab: “YA”, bahwa semuanya bisa sampai kepada mereka dan mereka sendiri menjadi gembira, sebagaimana kegembiraan seseorang diantara kalian dengan hidangan makan ketika dihadiahkan kepadanya."


Kalau sekiranya hadis ini dipahami, sebenarnya banyak pengertian yang dapat diambil,bahwa :
1. Amalan orang yang masih hidup yang disampaikan kepada mayit adalah dapat sampai dan si mayit sendiri merasakan manfaatnya.
2. Pewakilan amalan suatu perbuatan baik yang dikerjakan oleh orang yang masih hidup, sedangkan yang mewakilkan yaitu si mayit lewat harta yang ditinggalkan misalnya adalah dibenarkan oleh beliau (Nabi), bahkan sampai pahalanyapun dinyatakan oleh Nabi dapat sampai kepada si mayit.
3. Pernyataan Nabi yang berupa pembenaran terhadap amalan tersebut sebagaimana diceritakan dalam hadits di atas adalah suatu tuntutan nyata dari beliau yang selayaknya diikuti.
Terdapat suatu keterangan yang tersebut dalam kitab Majmu karangan Imam An-Nawawi, bahwa pada suatu ketika Qadli Abu Ath Thayyib ditanya tentang persoalan menghatamkan Al-qur’an di kuburan, beliau menjawab: pahala bacaan itu bagi pembaca, sedangkan si mayit seperti halnya orang-orang yang hadir, dia (mayit) mengharapkan rahmat dan berkah. Dengan demikian menurut pengertian yang dapat diambil dari jawaban Qadli Abu Ath-Thayyib, jelas disunnahkan hukumnya membaca Al-qur’an diatas kuburan.
Demikian pula telah disebutkan dalam kitab Majmu Tsalatsu Rasail yang ditulis Al-Allamah Muhammad Al-Arabi, bahwasanya membaca Al-qur’an atas orang-orang yang sudah mati hukumnya boleh (jaiz). Menurut pendapat sebagian Ulama Fiqh Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, bahwa pahala bacaan itu dapat sampai kepada mereka (ahli-ahli kubur), meskipun dalam kenyataannya dikerjakan dengan memakai upah (ujrah).

Solat Hadiyah
Sholat Hadiyah adalah solat sunnah dua rokaat yang pahalanya diperuntukkan untuk orang yang meninggal, namun waktunya adalah pada malam pertama jenazah dikuburkan. Dengan tujuan memberikan cahaya dan banyak kenikmatan kepada jenazah dimalam pertamanya dialam kubur. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits sebagai berikut:

رُوِىَ عَنِ النبي ص م أَنَّهُ قَالَ لاَيَأْتِى عَلَى الْمَيِّتِ أَشَدُّ مِنَ اللَّيْلَةِ اْلأُوْلَى فَارْحَمُوْا بِالصَّدَقَةِ مَنْ يَمُوْتُ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
"Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda; tidak datang atas mayit persoalan yang lebih berat dari malam pertama, maka sayangilah orang-orang yang telah meninggal dengan shadaqah, apabila tidak bisa bershadaqah maka kerjakanlah shalat dua rakaat (shalat hadiyah)."
Shalat hadiyah tersebut dikerjakan dengan dua rakat, yang pada setiap rakaatnya membaca Al-Fatihah, Ayat Kursi, At-Takatsur, dan Al-Ikhlas 11 kali. Dan setelah salam membaca:

اَللَّهُمَّ إِنِّى صَلَّيْتُ هَذِهِ الصَّلاَةَ وَتَعْلَمُ مَا أُرِيْدُ اَللَّهُمَّ ابْعَثْ ثَوَابَهَا إِلَى قَبْرِ فُلاَن بن فُلاَن
Dan manfaat dari shalat hadiyah tersebut adalah bahwa Allah akan mengutus 1000 malaikat yang membawa nur kedalam kubur si fulan, dan memberikannya kegembiraan.
Ziarah kubur
Ziarah kubur menurut beberapa madzhab kaum muslimin seluruhnya membolehkan, bahkan mereka juga menjelaskan tentang tatacara dalam berziarah kubur. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari ‘Aisyah dijelaskan bahwa Rasulullah pernah melakukan ziarah kubur

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ الله عَنْهَا أَنَّهُ ص م أَخْبَرَهَا أَنَّ جِبْرِيْلَ جَاءَهُ فَقَالَ لَهُ: "إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِىَ أَهْلَ الْبَقِيْعِ فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ" وَأَنَّهُ ص م جَاءَ الْبَقِيْعَ فَقَالَ وَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. وَأَنَّهَا رَضِىَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ لَهُ كَيْفَ أَقُوْلُ لَهُمْ ؟ فَقَالَ: قُوْلِىْ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ.
“Sesungguhnya Rasulullah telah memberitahu kepada Aisyah, bahwa Malaikat Jibril telah mendatanginya kemudian berkata Jibril kepadanya : Sesungguhnya Tuhanmu memerintah kamu untuk mendatangi (menziarahi) ahli baqi, maka kamu mintakan ampun mereka, dan Rasulullah sendiri telah datang ke Baqi serta berkata dan berdiri lama sekali, kemudian mengangkat kedua tangannya sampai tiga kali.”
Selanjutnya Aisyah bertanya kepada Rasululah : “Bagaimana caranya aku membaca (untuk ahli Baqi)? Kemudian beliau menjawab : bacalah “Kesejahteraan buat kalian wahai penghuni kubur, orang mukmin dan muslim, semoga Allah menyayangi kalian, baik yang terdahulu maupun yang terbelakang, dan jika Allah menghendaki pasti aku akan menyusulmu."
Diceritakan oleh Aisyah pula bahwasanya berziarah kubur Baqi adalah suatu kebiasaan Nabi, sebagaimana keterangan dalam lafadl Hadits di bawah ini :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص م كُلَّمَا كَانَتْ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُوْلُ اللهِ ص م يَخْرُجُ آخِرَ اللَّيْلِ إِلَى الْبَقِيْعِ فَيَقُوْلُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمِ مُؤْمِنِيْنَ وَآتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجَّلُوْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ, اَللّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ.
“Sewaktu-waktu Rasulullah diwaktu malam giliran siti A'isyah. Beliau keluar di akhir malam menuju Baqi maka membacalah:
“Keselamatan bagi kamu sekalian di desa kaum yang sama beriman, dan telah datang kepadamu segala sesuatu yang sudah dijanjikan esok kalian semuanya ditangguhkan serta Insya Allah kita semuanya pasti bertemu dengan kamu. Wahai Allah semoga engkau mengampuni kepada ahli Baqi' Gharkad."
Pada masa permulaan Islam, ziarah kubur itu dilarang oleh Rasulullah, karena kondisi manusia pada masa itu sangat dekat masanya dengan zaman jahiliyah, akan tetapi (setelah agama Islam mendalam dan keimanan mengakar dalam hati pemeluknya) larangan tersebut dirubah dengan bentuk ucapan Rasululah dan perbuatan beliau. Perubahan yang melalui bentuk perbuatannya maka telah tersebut diatas. Sedangkan yang berbentuk ucapan adalah sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim :

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا , فَقَدْ اُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِى زِيَارَةِ قَبْرِ اُمِّهِ, فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ
“Aku pernah melarang kamu sekalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kamu ke kubur, sesungguhnya telah diijinkan bagi Muhammad Saw, untuk menziarahi kubur ibunya, maka berziarahlah kamu semua ke kubur, karena ziarah itu dapat mengingatkan kalian kepada akhirat."

Selanjutnya timbul permasalahan di kalangan para Ulama tentang status hukum berziarah kubur yang dilakukan oleh kaum wanita. Segolongan orang dari kalangan ahli ilmu berpendapat, bahwa orang perempuan berziarah kubur hukumnya makruh Tahrim atau makruh Tanzih, karena adanya Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :

عن أبى هريرة أَنَّ رَسُوْلَ الله ص م. لَعَنَ زَوَّرَاتِ الْقُبُوْرِ (رواه أحمد وابن حبان والترمذى)
“Sesungguhnya Rasululah melaknati orang-orang perempuan yang berziarah kubur."
Berdasarkan bunyi Hadits ini, mereka memberikan keputusan Hukum orang perempuan berziarah kubur, sebagaiman tersebut diatas. Tapi sebagian besar kalangan para Ulama berpendapat, bahwa bagi orang perempuan berziarah kubur itu hukumnya jawaz (boleh), asal memang terasa aman (sepi) dari fitnah. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan beberapa dalil (hadits) sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah berkata :

عن عائشة قالت كَيْفَ أَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِذَا زُرْتُ الْقُبُوْرَ؟ قَالَ: قُوْلِىْ "اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ الْمُؤْمِنِيْنَ (رواه مسلم)
“Dari ‘Aisyah, beliau bertanya pada nabi: Bagaimana caranya aku membaca Hai Rasululah!, jika aku berziarah kubur?. Jawab Nabi : berucaplah (bacalah) : “Assalamu alaikum Ahlad Diyaril Mu’minin”
(Mudah-mudahan keselamatan diberikan kepada kamu sekalian hai … ahli kubur orang-orang mu’min).” A'isyah adalah sahabat perempuan
 
Support : the balina | Mas Template
Copyright © 2011. BLOGE WONG BODO - All Rights Reserved
Site Meter
Page Rank Check Template Created by Creating Website Publised by Bloge Wong Bodo
Proudly powered by Blogger